Kamis, 12 Maret 2009

Lo Than Muk Sang Penyayang Buaya

*Objek Wisata yang Tak Tersentuh Tangan Pemerintah
HARIAN SORE 'HARI INI'

(09.25 WIB) Sejarah berdiri objek wisata peternak buaya Asam Kumbang yang terletak di jalan Bunga Raya, Desa Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang tepatnya dipinggiran Kota Medan. Pada tahun 1959 yang dimulai dari 12 ekor anak buaya yang berasal dari sungai Sumatera Utara yang pada saat itu buaya masih belum digolongan sebagai binatang yang dilindungi. Jadi, pada masa itu orang-orang bebas menangkap, dan memelihara untuk tujuan komersil maupun tujuan lain.

Lo Than Muk kelahiran Aceh Timur 11 Maret 1948 dari 6 bersaudara anak seorang petani sayur ini menghabiskan usianya untuk membangun peternakan buaya dengan untuk mengembangbiakan hewan tersebut agar tidak punah dan anak cucu kita kelak dapat mengetahui spesies ini.

Lo Than Muk seorang penyayang binatang yang pernah mengecap masa pahit dari zaman penjajahan kolonial Belanda dan Jepang ini harus berjuang untuk mendirikan peternakan buaya dengan lahan seluas 2 hektar nan asri. Dengan istri tercinta Lim Hui Cu,(61) beserta kedua anaknya Robert Lo,(29) dan Robin Lo,(27) mereka dengan rasa kecintaanya terhadap hewan tersebut dari menjaga, memelihara merawat dan mengembangkan peternakan buaya ini merupakan bagian hidup dari keluarga besar Lo Than Muk samapi saat ini.

Berbagai penghargaan pernah diraih Lo Than Muk sang penyayang satwa buaya ini, dari Juara I pencetus Lingkungan Terbaik dalam rangka “Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia” tahun 1984. Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara dan Perhargaan Penangkaran Satwa dalam rangka “Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional” tahun 1995.

Objek wisata yang dibangun dengan peluh yang mengucuri perjuangan keluarga Lo Than Muk, kerja keras dan saling bahu membahu ternyata perjalanan pahit mereka menghasilkan buah yang manis. Kini, sudah 2800 ekor buaya yang dihasilkan dengan 2 jenis yaitu buaya muara dan buaya sinyulung. Buaya tertua berusia kurang lebih 48 tahun dan panjangnya kira-kira 5-6 meter.

Hari demi hari, tahun berganti tahun dan jarum jam terus berotasi menghampiri menit dan detiknya. Namun, kebersamaan mereka harus diakhiri di tahun 2007 lalu. Ayahanda tercinta Lo Than Muk meninggal mereka untuk selama-lamanya dengan meninggal sejuta kenangan manis yang selalu menyelusup ke dalam sendi-sendi kehidupan keluarga ini tanpa mengenal batas dan ruang waktu.

Sosok Lo Than Muk sang penyayang buaya ini, amat dirindukan oleh istri dan kedua anak serta kedua cucunya yang menjadi sebuah penggalan cerita bagi keluarga ini. “Sesekali saya membantu suami dan anak bungsu si Robin menjaga tiket masuk dan warung, ketika mereka sedang beristirahat,” kenangnya, Lim Hui Cu yang menerawanng jauh ke masa lalu bersama Lo Than Muk, sang suami tercinta.

Meskipun, Robert Lo dan Robin Lo sejak kecil selalu diajak bermain dengan buaya-buaya kesayangan. Namun, beliau tidak ingin anak-anak nanti seperti dirinya.

Tapi, sosok Lo Than Muk mengalir ke dalam darah Robin Lo yang ingin meneruskan peninggalan berharga dari prang yang sangat cintai ini yang mengajarkan mereka arti sebuah kasih-sayang dan perjuangan hidup yang hakiki. kenangnya sekali lagi, terlihat dari pancaran bola matanya.

Dinamika zaman terus bergulir, laksasan air sungai yang mengalir ke muara yang tidak dapat berhenti. Perjuangan keluarga Lo Than Muk belum berakhir dan terus berjalan mengikuti jarum jam. Lihat saja kini, ribuan buaya yang di pelihara di lokasi obyek wisata di Kecamatan Asam Kumbang terancam punah. Pasalnya, mulai mendapat masalah biaya operasional untuk 2800 buaya-buaya tersebut yang sehari-harinya membutuhkan pakan 1 ton daging ayam mati.

Robin Lo, (27), putra kedua dari Alm. Lo Than Muk, harus bekerja keras untuk dapat terus mengelola penangkaran milik ayah tercinta ini, Karena bantuan terakhir yang ia terima dari pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 1993. Kini, ia bersama ibunya, berjuang dan berusaha mandiri sepeninggalan ayahnya pada tahun lalu. Setiap hari 1 ton daging ayam mati, mereka harus memenuhi kebutuhan pakan untuk buaya yang berjumlah 2800 ekor itu. Berkisar Rp500.000 per hari yang harus mereka keluarkan.

“Selama ini kami coba terus memelihara buaya-buaya ini karena kecintaan akan hewan tersebut. Tapi lama kelamaan kami sudah mulai kewalahan akan biaya opersionalnya,” jelas istri Alm. Lo Than Muk. Menurutnya, dalam satu harinya mereka harus mengeluarkan uang senilai Rp500 per hari untuk pakan buaya-buaya tersebut.

Padahal, Direktur Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) memasukkan Sumatera Utara (Sumut) menjadi salah satu destinasi wisata nasional pada tahun 2009. Namun, realisasi untuk objek wisata peternakan buaya dipandang sebelah mata dan sama sekali tidak tersentuh oleh Pemko Medan, Pemerintah Daerah dan Dinas Kebudayan dan Pariwisata. Terkesan dianaktirikan. Sebab, sampai detik ini pihak yang terkait masih belum mampu melakukan apa-apa padahal situasi dan kondisi perternakan buaya ini semakin hari, semakin memprihatikan.

Jadi, apabila kita berkunjung ke objek wisata penangkaran buaya Lo Than Muk, Asam Kumbang ini berarti kita secara tidak langsung kita sudah sangat membantu keluarga ini serta ikutserta melestarikan satwa langka ini untuk anak cucu kita kelak.(darwinsyah)

Sumber foto: www.kabarindonesia.com

0 comments: