This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

Minggu, 09 November 2008

Cerpen Pujangga

Aku Ingin Menikah Mak..!!!

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Perlahan aku membuka amplop yang berisikan surat ternyata dari adik bungsuku yang berada di Bandung dan aku langsung membacanya dan syair indah ini sebagai mukhadimahnya.

Puisi Seorang Suami Kepada Isterinya

Kemaafanmu adalah kelangsungan cinta
jangan meradang ketika api sedang membara
jangan bertingkah walaupun hanya sekali
karna kau takkan faham apa yang kutanggung
di perantauan hindarilah daripada berkeluh kesah
takut ketuaanmu segera menjelma dan aku hambar
sesungguhnya hati mudah berubah
sesungguhnya cinta dan kemarahan itu
apabila bertemu maka cintalah yang mengalah…

lalu....

Aku ingin menikah Mak!!! Ini maksud dari suratnya…membuat jantungku berdetak kencang yang tidak lagi mengikuti detik jarum jam, lalu ku baca surat adik bungsu itu yang aku dapati di atas meja. Dia tidak tahu bahwa emak lagi keluar kota ada urusan keluarga.

Mak! aku sangat menyukai puisi Shyaikh Jalaluddin Rumi di atas, aku jadi memberanikan untuk menulis surat ini kepada emak tercinta Bukan karena aku ingin melakukan hal yang selama ini dilarang oleh agama, tapi aku ingin menikmati pernikahan itu sendiri, ya... sesuatu yang sangat sakral dalam kehidupan sepasang pencinta.

Aku tau tak mudah untuk menjalani sebuah pernikahan, suatu ikatan erat yang tak seperti dimainkan layaknya orang yang berpacaran. Aku ingin menikmati susahnya menjadi seorang suami yang berbakti kepada keluarga, mempunyai anak dan mengurus mereka bersama istriku. Suami itu ibarat rumah, sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan aku suka akan hal itu karena ada tantangan yang harus aku lalui, disamping menjalankan roda rumah tangga juga berkarir untuk diriku sendiri dan cucumu kelak. Aku tidak peduli status ataupun strata sosial calon istriku, bagiku ningrat atau apalah sebutannya terhormat aku tetap tidak peduli.

Aku tau, ini nggak gampang untukmu, memang banyak hal yang harus dipikirkan. Tapi terkadang hal itu hanya sebuah keinginan, di mana manusia tak bisa lepas dari rasa puas. Saat keinginan telah tercapai, pasti menginginkan hal yang lain lagi. Hidup di dunia bagaikan di padang pasir semakin banyak kita meneguk air semakin dahaga.

“Mak!!, dimata tuhan setiap hamba-hambanya sama kecuali akhlaknya, begitu ungkapan bapak ustadz tempat aku mengaji sekarang, bukan kedudukan, keturunan ataupun jabatan yang membuat seseorang mulia tetapi akhlaklah yang dapat menjadi seseorang mulia di sisi tuhan dan Diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amru ra. bahwa baginda Rasulullah SAW bersabda: “Dunia ini ialah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia itu ialah wanita solehah”. Hadis ini yang menjadi sandaran aku dalam memilih pasangan hidup.

Selain bekerja bahwa menikah itu juga ibadah, dengan menikah berarti aku telah menyempurnakan ibadahku dan keparipurnaan menjadi seorang laki-laki sejati. Menikah bukanlah hal yang paling manakutkan, setidaknya menurut versiku, karena semua tak akan berbeda, kecuali hidup bersama dengan kewajiban masing-masing namun, aku pernah membaca Hadis yang berbunyi “Wahai anak muda, menikahlah. Sesiapa yang mampu, menikahlah karena ia lebih memelihara mata dan menjaga faraj. Sesiapa yang tidak mampu untuk menikah hendaklah dia berpuasa kerana puasa adalah penahan (daripada gelojak nafsu)” (Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari).

Aku bisa beraktivitas seperti biasa, yang berbeda hanyalah kurangnya waktu luangku, diluar rumah karena ada seorang istri yang menantiku dirumah, menyediakanku segala hal yang aku perlukan karena aku pulang kerja hingga larut malam bayangkan. “emak kan tahukan bahwa aku tidak suka susu? Tapi aku sekarang sudah mulai menyukainya mak” ia selalu memberikan ketika aku hendak berangkat kerja Subhanallah...!! betapa indahnya...laksana rama dan shinta di taman syurgaloka.

hasratku ini sekarang sangat kuat seperti badai-badai di laut biru, meski banyak pro dan kontra akan keinginanku ini, ada yang memberiku nasehat untuk menyegerakan pernikahan karena islam melarang seseorang menjomblo dan usiaku yang terbilang dalam bilangan kelewat baliq bagi seorang laki-laki, menurutku pantas sekali untuk menikah, karena aku mengkhawatirkan usia ini dan kesalahan yang akan kulakukan dalam menjalin sebuah hubungan yang biasa disebut pacaran.

Hipotesaku 3 tahun lebih cukup untuk mengenal karakter masing-masing dan aku rasa aku telah cukup mengenal keluarganya. Apa pikiranku ini salah? Mungkin engkau tlah banyak menyusun rencana untuk masa depanku, aku dukung semua itu, tapi aku tak mau terlalu berencana Mak, karena terlalu sakit kalo semua itu tak seperti yang kita harapkan, bukankah kita lebih mantap menyusun planning saat kita sudah menikah? Menyatukan untuk satu tujuan, apa-apa saja yang ingin kita raih dan kita miliki.

mungkin banyak hal yang terpikir dikepalaku, seperti memiliki sebuah rumah dan Mendamba keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah dan barokah tapi tidakkah emak tau itu pasti bisa aku dapatkan dan aku yakin apalagi didalam kamusku tidak ada kalimat tidak bisa, aku bisa mewujudkan impian tersebut bersama-sama istriku .

Aku bukan penganut faham yang mengatakan belum siap menikah apabila belum mapan dari segi materil, emak ingin segalanya perfect saat untuk melanjutkan sebuah hubungan ke jenjang pernikahan. Itu wajar, aku tau mak melakukan semua itu karena ingin membahagiakan aku. Semua itu memang sangat kita butuhkan, apalagi di era globalisasi seperti ini, di mana persaingan semakin ketat, juga mahalnya biaya hidup baik primer maupun sekunder tapi tuhan maha mengetahui karna sebelum roh manusia di ditiupkan tuhan semesta alam sudah mencatat pertemuan, jodoh, rezeki dan maut setiap hamba-hamba-Nya sudah diatur dan kalo tidak mempercayai hal itu berarti aku bukan seorang muslim yang baik dong!!!! Dan aku tidak mau berburuk sangka terhadap tuhan.

Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, tapi jika kita mempunyai nawaitu yang baik untuk suatu urusan, aku yakin Allah pasti memberikan kemudahan, apalagi kita mempunyai nawaitu untuk menyempurnakan. Dan selama ini aku telah memiliki nawaitu yang tulus dalam hatiku, walau aku sempat merasa putus asa, namun perlahan tapi pasti, aku mendapatkannya satu demi satu, tawaran itu mengalir walau belum seperti yang engkau inginkan, hanya saja itu adalah proses pendewasaanku.

Aku tak bisa menjelaskan dengan detail akan hal ini, aku takut engkau akan merasa seolah aku menggurui atau mungkin memaksa emak untuk menentukan jodohku, bukan-bukan itu yang aku mau..mak, aku hanya ingin meluruskan maksud mak karna sampai kapanpun emak bagiku adalah tuhan yang nyata di dunia sekaligus guru terbaikku, aku akan tetap menunggu keputusan dari emak. Tapi aku tak mau emak terus berpikir akan semua materil, status atau yang lainnya karena aku yakin seiring berjalannya waktu kami pasti bisa mewujudkannya bersama-sama impian yang sekian lama aku impikan bersama seorang Ummul mukmininku.

Banyak orang yang sukses, pada awal ia menikah biasa-biasa saja, tapi karena mereka mau berusaha, bahu-membahu dan didampingi oleh istri tercinta, akhirnya mereka bisa mewujudkan cita-citanya, aku tak mau diri emak sakit, hanya kerena siapa yang layak mendampingiku. Siapapun layak mendampingiku asal ia memiliki akhlak dan hati yang suci.

Mak... aku ingin melihat emak juga bercengkrama dengan buah hatiku seperti engkau bersama keponakku lika anak perempuan adikku.

Semoga mak mau menerima keinginan hatiku yang paling dalam bahwa aku sudah ada pilihan untuk menemani hidupku percayalah mak ia layak bersanding denganku dan menjadi menantu perempuan emak karna si Azizah adalah perempuan yang sempurna bagiku Insya Allah bulan depan aku pulang ke kampung halaman untuk meminta restu emak dan keluarga besar di di sana.

Semoga emak merestuiku.....
WASSALAM !!!

Tak kuasa aku membaca surat dari adik bungsuku, pikiranku berputar seraya aku berada di komedi putar di taman ria, mungkin semua yang dikatakan Wewen pada surat itu benar adanya, karena mungkin ia takut mak tidak menerima calon istrinya karna dari golongan keluarga biasa-biasa saja.

hatiku terus berkata, “apa yang harus aku lakukan? Kalo aku beritahukan pasti mak susah menerimanya, beliau bisa marah seperti gunung kerakatau yang meletus, aku terpaku di antara dilema-dilema yang semesti tak ada di muka bumi ini, aku sebenarnya kurang sefaham dengan faham emakku tapi sejelek apapun beliau tetap ibuku yang paling aku sayangi”.

“Ya rabb... tunjukkan jalan bagi orang-orang yang ingin menjalani ibadah kepada-MU...”

Cerpen Pujangga

Rumi Anak Emas

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Perjalan mencari ilmu bagaikan anak-anak sungai menuju samudera biru, jalan menuju sukses teramat pahit rasanya namun suatu ketika akan menghasilkan buah yang sangat manis. Karena para ilmuwan, satrawan dan cendikiawan adalah para pencari jalan tuhan. Mereka telah menyeluruhi pahit-manisnya dalam pencarian dalam meraih cita-cita yang diinginkan. Merekalah pejuang-pejuang hebat yang akan menjadi pemimpin agama, bangsa dan rumah tangganya kelak dikemudian hari.

Namanya Rumi. Seorang anak tunggal, dari keluarga miskin. Bapak Ibunya seorang manusia biasa yang kerjanya tidak tentu alias serabutan. Tetapi meski begitu, kedua orang tuanya tidak pernah membiarkan Rumi untuk bernasib seperti mereka. Bapak dan Ibu Rumi meski merupakan orang-orang pinggiran yang hidup hanya cukup untuk makan hari ini saja, tetapi mereka lebih agamais dari kebanyakan orang lain pada umumnya. Mereka selalu bersyukur kepada tuhan sang penggenggam langit dan bumi. atas anugerah yang dilimpahkan yaitu seorang anak yang bernama Rumi al-Qardhawi nama pemberian nenek yang berada di kota Barus yang berada daerah Tapanuli Tengah di salah kota tempat mengajar SYEIKH Hamzah al-Fansuri seorang Sastrawan dan sufi agung yang telah banyak dibicarakan orang yang hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Rumi adalah sosok anak yang tidak pernah meninggalkan Shalat lima waktu dan setiap tengah malam selalu shalat Tahajud selain itu ia juga rajin menulis puisi-puisi dan bermain gitar untuk melepas inspirasinya. Sehabis shalat kedua orang tuanya selalu memanjatkan doa agar anak satu-satunya bisa berguna bagi Agama, keluraga dan bangsa. Hanya satu tekad yang ingin diwujudkan oleh orang tua Rumi, yaitu menyekolahkan Rumi setinggi-tingginya walaupun perekonomian mereka pas-pasan namun agar menjadi orang yang berhasil, yang bernasib lebih baik dari kedua orang tuanya.

Rumi yang sudah duduk di bangku SD dari situlah karya-karya kecilnya mulai dituangkan lewat lomba-lomba menulis di sekolahnya sehingga hasil yang di dapat dari lomba tersebut dapat melanjutkan sekolahnya dengan mendapat beasiswa karena karya-karya selalu menjadi jawara baik tingkat sekolah maupun lomba-lomba yang di adakan di luar sekolah dan Rumi mulai tumbuh dewasa, perlahan-lahan mulai memahami benar betapa susahnya kedua orang tuanya, yang pontang-panting, banting tulang dan utang sana-sini berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.

Ada suatu keinginan bagi Rumi untuk membantu kedua orang tuannya. Suatu saat Rumi memberanikan diri menjadi pengamen jalanan dan penyemir sepatu tanpa membritahukan kepada kedua orang tuanya. Dan uang hasil mengamen dan menyemir sepatu, dia belikan buku-buku pelajaran dan ia sendiri memang maniak membaca terkadang di tengah-tengah hiruk-pikuk jalan raya kalo tidak kesibukan mengamen dan menyemir ia menyempatkan untuk membaca karena kata guru ngajinya bahwa dengan rajin-rajin membacalah engkau karena dengan membaca engkau dapat mengetahui hal-hal yang tidak pernah engaku ketahui sebelumnya dan bukankah firman Allah yang pertama turun adalah “Iqro” yang artinya “bacalah” dari hal tersebutlah ia begitu tekun dan rajin membaca untuk menambah hasanah berpikir.

Tanpa disadari Orang tuanya yang melihat keanehan tersebut lalu bertanya pada diri Rumi padahal orang tuanya tidak pernah memberi uang untuk membeli buku-buku yang ia butuhkan tapi kenapa ia setiap pulang dari misi rahasianya selalu memegang buku-buku itu .

“Nak, darimana buku-buku ini, setiap bulan selalu kamu peroleh buku-buku pelajaran. Padahal Bapak Ibumu tidak memberimu banyak uang”. Dengan penuh tanda tanya besar dan sedikit curiga namun nadanya masih pada koridor-koridor yang lemah lembut

“Buku ini hasil sumbangan dari seorang dermawan di sekolah pak” penuh perasaan yang di hantui rasa takut yang tersembunyi dari balik hatinya karena sebenarnya ia sedikit tidak begitu pandai berbohong apalagi sama kedua orong tuanya itu namun untuk misi kecilnya itu ia harus berbohong.

“Oh begitu, syukurlah....semoga Dermawan itu mendapat Pahala yang banyak di sisi Allah SWT.”

Haripun berjalan lagi, jarum jam laksana air sungai yang tidak pernah mau berhenti mengalir ke muara, detik demi detik berubah menjadi hari demi hari dan bergulir seperti biasanya. Embun yang menghiasi mawar kelopak mawar dan dedaunan masih manari-nari di pagi hari, dan langit juga masih berwarna biru-putih di. Rumi yang tidak ingin melihat orang tuanya menderita, tetap membantu kedua orang tuanya secara diam-diam. Tetapi lambat laun mereka pun akhirnya tahu.

“Nak, kamu ini masih kecil. Kami tidak mau kamu menjadi seperti ini. Tolong, belajarlah saja yang tekun. Urusan uang sekolah, biar bapak dan ibumu yang memikirkan jalan keluar. Kami ingin kamu benar-benar belajar, agar nasibmu tidak seperti kami yang bodoh dan miskin ini. Biarlah bapak ibumu yang menderita, asal kamu bahagia selalu sepanjang hayatmu bersama istri dan anak-anak”.

“Benar, Rumi apa kata bapakmu nak, biar kami yang mencari jalan keluar bagaimana agar kamu berhasil” nada suara lemah lembut ini begitu sambil mengelus-elus rambut anak lelaki satu-satunya

“Kamu buat malu bapak saja!!! Disuruh sekolah malah ngamen!!!”

“Sudahlah pak dia kan masih anak-anak yang belum tahu apa-apa”

“Belajar itu penting jangan seperti kami, bapak dan ibu ini miskin karena tidak sekolah tau kamu..!!!!”

Tak terasa Rumi air mata membanjiri pipih lugu dan tulus itu. Sebuah air mata antara sedih dan bangga. Sedih karena melihat kedua orang tuanya hidup susah dan bangga karena dalam kesusahan hidup, kedua orang tuanya masih memikirkan kebahagiaan dirinya.

Tahun-demi tahun berganti, Rumi pun sekarang sudah berhasil duduk diperguruan tinggi ternama. Hasil jerih payah kedua orang tuanya tidak sia-sia. Dari hasil kerja serabutan dan hutang sana sini, orang tua Rumi berhasil menyekolahkan anaknya. Tetapi apa daya, hutang-hutang yang dipinjam orang tua Rumi dari seorang rentenir belum bisa terlunasi. Kesehatan kedua orang tuanya juga mulai menurun dan sering sakit-sakitan karena hidup yang tidak layak. Dan, Rumi pun tahu persis apa yang terjadi. Untuk itu Rumi pun memberanikan diri kuliah sambil bekerja lagi, meski tadinya orang tuanya ingin agar Rumi konsentrasi belajar agar cepat lulus kuliah.

Dari hasil memberi kursus-kursus privat di sana-sini, Rumi mulai bisa membantu membiayai kuliahnya dan mencicil hutang orang tuanya. Tetapi ternyata masih kurang. Hutang yang sudah jatuh tempo membuat rumah mungil satu-satunya disita oleh rentenir sialan itu karena kalo tidak segera dilunasi bapak akan dilaporkan ke pihak yang berwajib. Dan terpaksa mereka mengontrak sebuah rumah petak yang jauh dari kesan layak huni.

Kondisi sakit yang cukup parah yang dialami bapaknya, membuat Rumi agak gugup menghadapi kehidupan ini namun ia tidak pernah berburuk sangka kepada tuhan atas situasi dan kondisinya saat ini. Memang ada sedikit perasaan takut menghujani pikiran akan masa depan dia. Kini hanya ibunya yang mencari pekerjaan serabutan ditambah kerja sampingan Rumi dengan mengirim puisi-puisi dan tulisan di suratkabar syukurnya karena karya-karya dia sudah di kenal khlayak. Selain ia Beruntung mendapat beasiswa karena prestasinya yang bagus di bidang akademis.

Dan waktu yang ditunggu-tunggu pun datang, Rumi berhasil menamatkan kuliahnya. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu kedua orang tuanya agaknya akan terjadi. Tetapi sayang, satu hari menjelang wisuda, Bapak Rumi meninggal dunia. Bagai kiamat sudah datang, kesedihan menimpa Rumi. Dipeluknya ibu tercintanya dan mereka berdua menangis sewajarnya. Rumi dan Ibunya merelakan serta mengiklhaskan orang paling mereka cintai menghadap sang maha pemilik maha.

“Sayang bapaknya tidak bisa melihat anaknya memakai Toga wisuda” suara hati kecil ibunya pada waktu acara ritual wisudawan dilaksanakan, lagi-lagi air itu pun tanpa disadari menetesi wajah Ummul mukmininnya .

Kini, setelah Wisuda, ada tugas baru bagi Rumi. Dia harus bekerja untuk menghidupi dirinya dan ibunya yang sudah mulai tua. Beruntung, dia langsung diterima diperusahaan ternama. Dan lambat laun, kehidupan Rumi dan ibunya mulai normal kembali. Tetapi, ketika kehidupannya mulai normal, ibu Rumi pun menyusul bapaknya yang telah pergi. Rumi tak kuasa menahan kesedihan dirinya. Dia menangisi ibunya yang telah meninggal betapa sakit hatinya belum sempat membalas cinta kasih bapak ibunya mereka telah meninggalkanku.

Hari berlalu, dan kini Rumi pun sendiri. Sendiri sebagai seorang yang mandiri dan berkarir bagus dalam pekerjaannya. Dalam bekerja tidak lupa dia luangkan waktu sejenak untuk shalat lima waktu, sekaligus selalu mendoakan kedua orang tuanya yang bagaikan malaikat di dalap kehidupannya, agar diterima disisi-Nya.

Sekarang, Rumi sangat bahagia meski kedua orang tuanya telah meninggal. Bahagia menyaksikan anaknya sekarang, karena Orang tuanya layak mendapatkan surganya, terbebas dari penderitaan dunia. Surga atas jerih payah mendidiknya menjadi seorang manusia yang berguna bagi semesta alam. Sekarang masa depan telah menantinya.

Cerpen pujangga

LUDAH

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Dunia semakin senja terkadang menangis dan tertawa tak dapat dihindari semua tertelan dalam satu rangkuman yaitu hikmah. Mau tidak mau dagelan hidup harus dilakoni tapi tanpa disadari oleh jiwa kita bahwa kebencian merasuki hati kecil ini. Sementara sang pencipta manusia tidak pernah membenci setiap hamba-hambanya.........

Temanku Andre, ia sangat membenci Iwan. Apabila Iwan melintas di depan Andre nggak sungkan-sungkan meludah sebagai simbol bahwa dirinya amat membenci Iwan yang tidak lain adalah bekas sahabat karibnya. Hal ini bermula karna kehadiran cewek cantik disisi Iwan sehingga persahabat mereka retak alias bubar, ibarat dua buah gelas semakin dekat, semakin beresiko untuk pecah begitu filosofinya. Pernah suatu ketika Iwan menanyakan perubahan diri Andre itu tetapi Andre hanya bersikap masa bodoh, acuh tak acuh hingga Iwan pun cuek dengan sikap Andre itu, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua.

“Kenapa sih... Wan, kok! Kayaknya Andre benci banget ama kamu?” tanyaku punya selidik.

“Ntahlah...Win! aku sendiri nggak tahu harus gimana ama tu anak, emang kalo difikir dia pantas membenciku. Tapi caranya itu yang nggak bisa aku terima.” Iwan seakan sudah buntu jalan fikiranya untuk menghadapi sikap Andre yang kekanak-kanakan itu.

“Apa karna Selvi...??? Aku pernah dengar tu anak pernah ada hati ama pacarmu, He...maksudku sebelum Selvi menjadi pacarmu”. Kataku hati-hati, takut Iwan tersinggung.

“Ah...sudahlah..!!!” Iwan pun bergegas pergi sepertinya ia nggak mau membahas lebih jauh masalahnya.

Seperti biasa aku harus pergi kuliah karena hari ini ada mata kuliah yang kuambil di kampus orange tercinta. Udara panas menyengat, aku melihat abang becak membersihkan kucuran keringat yang keluar dari tubuhnya sambil menelan ludah setelah seorang ibu membayar pekerjaan mendayungnya. Lalu ia melaju kembali penuh dengan semangat hanya untuk sesuap nasi meskipun udara teramat panas. Aku menyetop angkot jurusan yang searah kampusku, dalam hatiku ini itu baru seorang pejuang. Apa yang aku saksikan tadi teringat dengan si Andre, aku melihat perbedaan di mana abang becak tadi ludah berguna sebagai pelepas dahaga walaupun semntara namun sebaliknya temanku Andre malah meludah sebagai simbol kebencian. Aku tersenyum sendiri dengan mengeleng-gelengkan kepala memifirkannya.

Lalu lintas sempat macet karna banyak anak-anak sekolah baru pulang sekolah, “Pinggir bang...!?!” kataku memberi isyarat bahwa aku telah sampai tujuan. Ketika aku mau turun, kepalaku terantuk pintu angkot dengan malu-malu aku cepat-cepat berlalu dari angkot tersebut. Aku sempat melihat nenek dengan cucu yang manis yang duduk tepat disebelahku tadi tertawa.
“Dasar sial...!!!” makiku dalam hati.

Ketika aku memasuki gerbang kampus orange tercinta, aku melihat ada Andre sedang asyik menikamti rokok di kios depan kampus. Ntah... kenapa aku ingin sekali mendekati Andre dan menasehati dia tentang kelakuan buruknya yang suka meludah pabila Iwan melintas dihadapannya. Bahkan temen-temen mahasiswa tidak menyukai sikap tidak terpujinya.

“Hey.. !? Ndre!” sapaku sambil menepuk-nepuk bahunya lalu aku langsung aja duduk disebelahnya ragu-ragu.
“Rokok...???” ia menawarkan aku rokok. Kucoba untuk menolaknya karna batukku belum pulih betul ia pun jadi heran.
“Sudah berhenti ente...???” tanyanya lebih yakin.
“Untuk sementara te... aku gi batuk nih!” kataku agak malu-malu dan kemudian membuka pembicaraan.
“Ndre, ente marah nggak kalo aku tanya sesuatu?”
“Sesuatu apa tuh!”
“Ya.. sesuatu yang berguna.”

Andre bangkit dari kursinya dan menghampiri box minuman dingin lalu menyodorkan kepadaku minuman tersebut .

“makasih Ndre..” aku pun langsung meneguknya karna kerongkonganku sudah gerah banget maklumlah perjalanku jauh.
“Silahkan ente mau tanya apa..?” katanya mantap.
“Kenapa sih.. ente? Aku lihat ente benci banget ama Iwan, smapai pake ritual meludah segala jorok kan..?!” kataku dengan hati-hati, takut darah tingginya kumat gara-gara pertanyaanku tadi.
“Please deh!!! dia...pantas digituin Win! Aku benci! Pokoknya aku benci banget ama dia.”
Andre sambil meneguk air mineralnya dengan mata elangnya menatap penuh luapan emosi kearahku.
“Aku ngerti...kebencianmu itudan kalo aku dapat merasakannya kok! Tapi bukan dengan cara seperti itu...........” kataku terputus

“Aku rasa kalo kita membenci sesorang nggak perlu harus meludah di depan atau di belakang orang itu kan, perbuatan demikiankan kurang baik, mendingan disimpan dalam hati atau kalo perlu bicara langsung ke dianya. Ingat Ndre, Tuhan yang menciptakan kita aja nggak pernah membenci hamba-hambanya walaupun ia seorang penjahat sekalipun.

Dan masalah kalian hanya gara-gara si Selvi persahabatan kalian harus putus. Gentlemen dikit kenapa sih! Ndre...? toh...! bukan keinginan Iwan untuk mencintai Selvi, ia sendiri yang memilih Iwan.” Andre termangu laksana gunung di senja hari. Menunduk seakan-akan ia sedang mencerna ucapanku.

“Kamu marah..?!? silahkan, tapi jangan ludahi aku ntar ludah ente habis baru tau...” candaku, Andrepun tersenyum mendengar celotehku tadi.

“Ente...benar Win! Aku nggak gentelmen, sikapku kekanak-kanakan” kata Andre sadar atas kesalahannya.
“Nasib baik ente laki-laki kalo tidak..!?!!”
“Kalo tidak kenapa Win..???” tanya Andre dengan nada penasaran.
“Ludah ente diambil si Iwan terus didukuni ente bisa-bisa tergila-gila ama si Iwan, berarti.......” belum sempat kuutarakan maksudku, si Andre langsung tertawa terbahak-bahak. Untung cuacu panas hari ini tidak membuat darah militernya mendidih, kalo darah militernya mendidih bisa runyam aku dibuatnya.

“Thank’s...ya? Win! Karna uda membuat aku sadar atas kelakuanku selam ini”
“sudahlah yang penting ntar kalo ketemu Iwan kita harus saling memaafkan, Yuk..!!! masuk “ ajakku setelah mobil kijang warna merah milik Prof. Suwardi Dosen mata kuliah Komunikasi Pembangunan memasuki gerbang kampus orange kami.

“satu lagi ingin aku sampaikan ama ente bahwa Iwan tidak pernah membencimu Ndre,” kataku sambil terus merangkul bahu Andre berjalan masuk ke ruang perkuliahan.

Cerpen Pujangga

“Ingin Kembali Pada-MU”

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Gemerlap Kota dan keindahannya menggelincirkan aku ke sebuah episode kenyataan yang kelabu, kadang aku jenuh dengan kehidupanku yang tidak menentu. kemaksiatan telah mendarah darah daging kedalam tulang-belulangku, berbagai kezaliman hampir aku selusuri liku-likunya dengan tiada keraguan.

Sesaat terkenang masa kanak-kanakku yang lugu, aku teramat pilu bila teringat Ayah-Bunda dan ketiga adik perempuanku di kampung halaman nan indah permai, asri dan agamais. Yang membuat seluruh jiwa luhurku ingin kembali ke pangkuan mereka.
Namun......

Siang berganti senja, senja pun menjelma menjadi malam. Kelap-kelip lampu ibukota mewarnai keelokan jalan raya, ingar-bingar kehidupan kota pun bersenandung merdu mencakar langit malam. Sebab kejahatan malam lebih menakutkan di bandingkan siang hari, Seperti biasa aku beroperasi di sela-sela kegiatan malam yang glamor, bola mataku berputar-putar laksana sang elang yang sedang mengintai mangsanya, Mencari korban. Menembus keremangan yang di iringi deru bus dan kendaran yang lalu-lalang bak sekawan semut yang merayap di pepohonan.

Muazin Masjid mengumandangkan adzan Isya saat mendengar muazin mengalunkan keakbaran illahi, jiwaku, kalbu, bahkan rohku hampir saja meninggalkan jasadku yang kurus kering ini. Jiwa-ragaku bagaikan teriris-iris dan berontak dengan tautan jiwa, ingin rasanya ku hamparkan kembali sajadah dan kopiah lalu membuka serta membaca lembaran ayat suci Al-Qur’an. Bersujud mengadab kiblat kembali ke shirot-MU yang kudus yang sekian lama terabaikan. Andai dulu aku tidak ke kota, andai dulu mendengar kata-kata Ibu. Beratus-ratus, bahkan beribu penyesalan menghampiri hati kecilku.

“Bang! Kalo ke Padang Bulan naik angkot yang mana ya..?”
Terdengar lembut dentingan suara yang menggugah lamunanku
“O, ya...!?! Dek mau kemana...???”

Tanyaku basa-basi naluri maksiatku muncul begitu saja. Mencoba mencari kelengahan perempuan itu, ntah! apa yang ada di dalam otakku. Tangan dengan gesit langsung meraih tas perempuan tersebut dengan begitu andal.

“Copet...!! Copet...!!! teriak histeris perempuan itu mengiring langkah seribuku menuju kerumunan bus-bus. Dalam hitungan detik aku sudah menghilang dibalik kegelapan dan sekali lagi aku lolos dari kejaran massa yang mengejar.

Dengan terengah aku selusuri gang gelap gulita sambil menenteng tas hasil rampasanku, sampai di tempat kosku, aku langsung berbaring. Setelah pikiranku melalang ke angkasa raya, memikirkan perempuan yang jadi santapanku hari ini. Seperti biasa setelah operasiku sukses pasti aku selalu mengalami gunjangan bathin, rasa menyesal, bersalah dan iba menghantui pikiranku, namun sayangnya perasaan suci tadi itu akan sirna perlahan-lahan bersama detik berganti detik dan aku pasti melakukan perbuatan bodoh itu lagi. Kembali pada lembah-lembah setan dan jurang-jurang gelap yang penuh kenistaan mencoreti liku-liku kehidupanku ini.

Malam semakin larut, gelap pun menyelimutui separuh bumi, angin sepoi-sepoi bersama nyanyian hening berbaur bersama keremangan malam. hujan pun tidak ingin absen malam ini untuk berdendang mengisi suasana malam yang syahdu. Aku teringat akan hasil rampasku, tanpa pikir dua kali kuobrak-abrik segala isi tas tersebut. Ada perhiasan emas, sebuah mukenah yang terbalut sajadah dan juga kitab suci Al-Qur’an yang menyelinap di tas.

“Aduuuh......!!!” jantung berdetak kencang sekali laksana badai-badai samudera biru, seperti halilintar yang menyayat langit-langit hitam. Menahan himpitan berjuta penyesalan yang semakin memenuhi relung jiwa. Aku telah menghalangi seorang hamba tuhan untuk beribadah betapa biadabnya aku ini, sejenak aku tertegun bak, gunung yang berada di antara lembah-lembah hantu. Imajinasiku melayang-layang ke dunia yang antah-berantah memikirkan nasib perempuan itu sekarang. Semua bekalnya telah kuambil dengan paksa darinya. Betapa tidak berguna hidupku, makan dari penderitaan orang lain.

Kumelangkah menuju lemari tempan penyimpanan tas itu. Tapi, tampak sebuah dompet warna orange tua terjatuh dari tas tersebut. Perlahan-lahan kubuka dompet itu, ada uang tunai, juga surat-surat penting menghiasi kisi-kisinya. Sampai mataku menatap sebuah foto kusam yang menyelip di antara uang recehan .

“Astaqfirullahaladzim.........,” berkali-kali tidak puluhan kali hampir beratus-ratus aku ucapkan dari bibirku. Aneh, tiba-tiba saja kalimat terucap. Tanganku gemeteran laksana ilalang-ilalang yang di hembuskan oleh sang angin menatap foto tersebut. Itu ibuku yang lebih kurang sepuluh tahun aku tinggalkan. Langsung kucari KTP yang ada di dalam dompet itu. Kubaca nama pemiliknya, tercatat nama Ilah Kirana.

“Ya, Allah, ampuni dosa-dosa hambamu yang hina dina ini,” terucap di dalam lubuk hatiku yang paling dalam sambil mengelengkan kepalaku penuh perasan bersalah yang tiada berbatas. Ilah Kirana itu adalah nama adik kandungku sendiri. Manusia macam apa aku ini ya... Allah, sama adiknya sendiri saja begitu tega merampas hak miliknya seharusnya aku menjaga dan melindunginya dari orang biadab seperti aku ini.

Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju terminal, berlari kesana-kemari, mencari adikku dengan menyisir koridor-koridor di terminal dan di antara tuna wisma yang tampak sedang menikmati mimpi-mimpi indahnya. Berharap-harap cemas, satu persatu aku amati baik-baik wajah mereka. Namun sayang seribukali sayang tidak jua aku temukan si Kirana adikku. Sampai saat aku melewati sebuah pos Polisi, tampak gadis muda berjilbab yang sedang terpejam matanya, aku berpikir mungkin adikku ada di pos Polisi itu. Ya.... karena bekalnya tadi sudah habis aku rampas semuanya.

Ternyata hipotesisku benar, gadis itu Kirana adikku perempuanku. Belum sempat kubangunkan, ia terlebih dahulu terjaga dan menatapku tajam sambil berteriak.
“Copet! Copet! Copet! Itu pak pencopetnya”

Langsung mengambil langkah seribu alias kabur yang dengan diikuti suara tembakan.
“Dor.......!!! Dor.......!!! Dor................!!!” berkali-kali tembakan terdengar.
Tanpa terasa salah satu kakiku tak dapat kugerakan. Karena timah panas telah menembus kaki kiriku. Aku tersungkur dan roboh seperti seekor rusa yang terkena tembakan sang pemburu dan langsung dibawa ke pos Polisi.
“Hey... kamu yang mencopet gadis ini, ya,” pak polisi itu bertanya sambil menatapku sinis.

“Ya ... pak” jawabku sambil memegang kaki kiriku yang tertembak tadi dengan menahan rasa sakit.
“Ini pak tasnya saya kembalikan tapi mohon saya ingin ketemu gadis itu” ucapku lirih.

Saat dipertemukan dengan adikku, aku terasa tidak kuat lagi menahan beban yang kurasakan selama ini. Rasa bersalah pada Ibu, Ayah dan juga adik-adikku yang telah lama kutinggalkan. Dia menatap wajah masih dengan tajam.
“Kirana....” kusebut namanya dengan jutaan kasih sayang yang tertimbun nun jauh di sana, ia pun kaget.

“lho...anda kok kenal dengan saya” sahutnya dengan rasa keheranan.
“Aku Agus, dik!!!” aku berucap sambil menundukan penuh rasa malu, adikku mungkin sudah tak mengenali aku kini yang berjambang lebat dan ada tato yang terlukis di sekujur tubuhku.

Kirana hanya bisa menangis, aku tidak tau dia menangis bahagia atau menangis benci kepadaku. Sekejap kemudian.....
“Kak!!! Ibu sedih memikirkanmu, aku ke kota disuruh mencari kakak. Ayo kita pulang kak kasihan Ibu!,”

Ucapan Kirana dengan diiringi isak tangis yang terus membanjiri pipihnya.
“Aku hanya titip salam pada Ibu, Ayah dan Adik-adik” Tak terasa dunia seraya berputar-putar dan terasa gelap seluruh isi pandanganku.

Saat bangun, sudah aku dapati aku terkapar di atas ranjang rumah sakit dengan tangan terborgol. Tampak perempuan tua dengan isak tangis mengisi daun telingaku ternyata Ibuku yang sudah dari tadi berada di sebelah jasad hinaku. Inginku bersimpuh mencium kakinya mohon ampun karena Ibu adalah tuhan yang nyata di dunia, namun apa daya aku tidak mampu.

“Ya...Rabb, pemilik maha segala maha, ini jalan hidupku yang harus aku tempuh. Di antara aku ada buah cinta-kasih yang agung se-Agung ayat-ayat-Mu yaitu yang berwujud Ibu, Ayah juga adikku, perkenankan seorang hamba yang hina dina ini untuk kembali ke shirot-Mu yang penuh kasih sayang tiada tara.....”

Cerpen pujangga

“Jangan Nodai Ngatiyem… !!!”

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

kata-kata itulah yang pertama diteriakkan teman Ngatiyem kepada lelaki yang hendak menodai Ngatiyem. Saat itu, Ngatiyem baru saja pulang dari mengajar senam di sebuah sanggar senam di Medan. Dia seorang yang cantik lagi seksi. Saat itu Hari Rabu menjelang malam, seusai mengajar senam, seperti biasa Ngatiyem ngafe dulu di daerah jalan Jenderal Sudirman Medan, ya… alias WS-Warkop Sudirman. Sambil lirik sana-lirik sini dia memainkan mata liarnya ke arah pengunjung.

Saat itu, dia melihat sesosok lelaki dengan Kumis Jambrong memandang tajam padanya. Seakan menantang, Ngatiyem tatap terus mata lelaki Kumis Jambrong tersebut. Teman Ngatiyem yang duduk disebelahnya berulang kali mengasih isyarat kepada Ngatiyem agar tidak meladeni tatapan mata lelaki Jambrong tersebut. Maklum, lelaki tersebut dikenal sebagai penguasa kawasan Jalan Sudirman Medan alias preman setempat yang paling ditakuti oleh para pemuda di daerah tersebut.

Tapi Ngatiyem cuek saja dengan nasehat temannya itu. Dia malah mengacungkan jari tengahnya ke arah lelaki Jambrong yang sesekali mengepulkan rokok Djie Sam Soe-nya ke arah Ngatiyem. Agaknya lelaki tersebut penasaran dengan tingkah pola Ngatiyem yang dinilainya mencari gara-gara kagak tau dia siapa aku di sini.

“Maksudnya apa wanita ini, Belum tahu aku ya?”, lelaki Jambrong itu berguman dalam hati,

“mau aku kerjai ya”, gerutuh lelaki itu lagi sambil mengigit bibir hitamnya dengan tangan kanan memukul-mukul tangan kiri seperti seroang bisballman ingin melempar bola ke lawan .

Ia kehilangan kesabaran dengan tingkah Ngatiyem, lelaki Jambrong itupun mendekati Ngatiyem.

“BRUAAK!!”, “apa lihat-lihat!!!”, sambil menggebrak meja dan kaki di kanan di atas meja.

“Maaf mas, dia anak baru di sini”, jawab teman Ngatiyem

“Baru ya baru, tapi tahu etika dong!!!”, nggak tau ya.. siapa aku di sini?? lelaki Jambrong itu kesal sambil mengelus-elus kumis yang agak sedikit mirip kucing kowok

“Iya mas maaf”, jawab teman Ngatiyem agak terbata-bata serta di hantui rasa takut, sosok lelaki jambrong tersebut selain berwajah kriminal ia juga menyeramkan hampir mirip bandit-bandit di dalam film si Unyil yang pernah ditayangkan di stasiun TVRI.

“Suruh minta maaf temanmu ke aku kalo mau selamat”, pinta lelaki Jambrong itu tambah kesal dengan menunjuk tepat wajah Ngatiyem nan elok rupawan.

Teman Ngatiyem segera menyuruh Ngatiyem untuk meminta maaf ke lelaki Jambrong tersebut.

“Kok diam terus dari tadi, ayo ngomong atau mau aku tampar”, geram lelaki Jambrong yang darah militernya mulai mendidih karna merasa perkataannya dari tadi tidak dihiraukan oleh si Ngatiyem.

“Maaf mas, teman saya bisu tuli”, teman Ngatiyem menjelaskan masih dengan nada cemas bercampur ketakutan yang tiada terkira bayangkan saja seorang perempuan di bentak oleh manusia jambrong yang sangat menyeramkan itu.

“Pantas bisu tuli, tidak bisa dinasehati!”, lelaki Jambrong itu mengejek dengan meludah kearah samping bawah.

Tiba-tiba, Ngatiyem menampar wajah lelaki Jambrong itu, sepertinya Ngatiyem tahu apa yang dikatakan lelaki tersebut. Merasa akan terjadi suatu keributan, teman Ngatiyem segera membawa Ngatiyem pergi dari situ. Tapi sayang, ketika mereka melewati gang sempit, mereka langsung disergap oleh lelaki Jambrong dan kawan-kawannya. Karma melihat kemolekan tubuh Ngatiyem dan kecantikan parasnya, lelaki Jambrong itu segera membawa Ngatiyem dan temannya di sebuah kamar kosong. Disitu Lelaki Jambrong itu hendak mengerjai Ngatiyem dengan cara memperkosanya.

“Aduh mas tolong jangan perkosa Ngatiyem”, teriak teman Ngatiyem berkali-kali dengan memohon berkali-kali namun sayang seribu sayang walau sudah berusaha sekuat tenaga ia tidak dapat berbuat banyak.

“Peduli Apa kamu”, sahut lelaki Jambrong dengan nafsunya yang semakin menggila

“TOLONG MAS BAHAYA!!!”, semakin keras suara teman Ngatiyem mengutarakan kata-kata tersebut meski sudah berkali-berkali.

“Diam kamu”, bentak lelaki Jambrong itu terus mengganyangi tubuh Ngatiyem seperti seekor singa jantan yang sedang menyantap buruannya dengan lahap dan rakus.

Lelaki Jambrong itu segera menyuruh temannya agar membekap mulut teman Ngatiyem. Dengan begitu lelaki Jambrong itu bebas menggagahi Ngatiyem. Seminggu setelah kejadian itu, setiap kali Ngatiyem dan teman Ngatiyem pergi ke Kafe di daerah Medan yang biasa dikunjungi oleh kaum remaja tersebut, lelaki Jambrong tersebut tidak kelihatan. Temen Ngatiyem yang penasaran segera ia bertanya pada tukang parkir.

“Maaf mas, kemana bang Jambrong yang biasa mangkal”, celetuk teman Ngatiyem

“Masuk rumah sakit mbak”, jawab tukang parkir

“Sakit apa? Mas?! Kalo kami boleh tau…”, pura-pura sedikit empati dan iba mendengar prihal si Jambrong masuk Rumah Sakit

“Aduh neng mas kurang faham istilah kedokteran”, sambil menggaruk-garuk kepala yang merontokan beberapa ketombenya.

“A..I..D..S…!!!” mbak!”. Celetuk temen si mas tadi yang lain yang berprofesi sebagai tukang becak mesin istilah kerennya betor (becak bermotor) di kota Medan dan sekitarnya.

“AIDS,….??? Mas, Oh, gitu”, jawab teman Ngatiyem sambil tersenyum manis dengan untuk menutupi kejadian tersebut memang si Ngatiyem adalah penderita AIDS karena pada waktu ia pernah jatuh sakit dia di bawah oleh keluarga di salah satu R.S.U ternama di kota Medan ternyata malangnya penyakitnya sembuh malah virus HIV mengalir di dalam tubuhnya karena keteledoran sang dokter menyuntik Ngatiyem dengan jarum bekas penderita AIDS begitu alkisahnya namun Ngatiyem tetap bersemangat menjalani penderitaan dengan sabar dan tabah. temen Ngatiyem jadi teringat puisi Jalaluddin Rumi yang berjudul -NAFSU- begini bunyi puisi tersebut:

Nafsumu itu ibu segala berhala
Berhala kebedaan ular sawa
Berhala keruhanian naga
Itu ibarat perumpamaannya

Mudah sekali memecah berhala
Kalau diketuk hancurlah ia
Walau batu walaupun bata
Walau ular walaupun naga

Tapi bukan mudah mengalahkan nafsu
Jika hendak tahu bentuk nafsu
Bacalah neraka dengan tujuh pintu
Dari nafsu keluar ma’siat setiap waktu

Lalu.........
Teman Ngatiyem segera kembali ke tempat duduk. Mereka berdua pun tertawa sendiri penuh puas. Tapi mengapa mereka bisa merasa puas. Jawabannya karena Ngatiyem adalah penderita AIDS. Dan lelaki Jambrong itu tengah tertular AIDS.


“RASAIN KAU JAMBRONG, sudah aku bilang jangan nodai Ngatiyem, malah kau puas-puasin….PUAAAASS——PUAAAASSS——PUAAAASSS”, Guman Teman Ngatiyem berapi-api.

Perempuan, Sumber Inspirasi penciptaan seni

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

“Seorang Perempuan dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia berkata, “Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai siraman ke dalam roh orang-orang yg kuat, membuat mereka bangkit dalam doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian di depan matahari di siang hari.” Khalil Gibran (1833-1931)

Menurut Khalil Gibran dalam bukunya “Mutiara Kata,” Seorang perempuan telah dilengkapi oleh Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga adalah suatu kebenaran, yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa kita fahami dengan cinta kasih dan hanya bisa kita sentuh dengan kebajikan.

Seandainya, tuhan tidak menciptakan perempuan di dunia ini, bagaimana nasib dunia seni niscaya tidak akan seperti saat ini keadaannya. Citra molek dan sensualitas tubuh perempuan telah menyulut api ilham dan merangsang gagasan penciptaan karya seni di berbagai titik ruang dan masa. Banyak karya agung berupa patung, puisi, cerpen, buku-buku, lukisan memngunakan objek estetika tubuh perempuan sintal dan seksi, film dan musik legendaris menampilkan sosok cantik-menawan dan desahan lembut perempuan, dan sastra pun tak tahan menolak godaan citra dan tubuh perempuan yang kerap terasa begitu luhur dan magis itu.

Buana seni semestinya berterima kasih kepada perempuan karena telah banyak berhutang kepada citra dan Arsitektur tubuh perempuan sebagaimana orok yang menetek kepadanya. Jika boleh mengiaskan dengan psikoanalisis Sigmund Freud, citra dan tubuh perempuan itu semacam libido yang banyak menentukan bentuk, pikiran, maupun tindakan seni. Atau, barangkali pandangan sosiologis, biologis, filosofis, maupun mitologis tentang perempuan sebagai sosok ibu yang terus menerus menjaga kelestarian silsilah spesies manusia di muka bumi ini juga telah menjadi atau setidaknya memengaruhi alam pikiran bawah sadar kolektif dan mendasari motivasi penciptaan seni sampai akhir zaman.

Penutup
Tubuh perempuan bukan lagi sebagaimana anggapan umum yang cenderung menempatkannya sebagai objek yang ditaklukkan dalam hubungan seks, yang digagahi dan bukan yang menggagahi. Politik rayuan itu akan memungkinkan untuk menempatkan eksistensi perempuan sebagai subjek, bukan tubuh yang dinikmati lelaki melainkan yang menikmati tubuh lelaki juga. Helai demn helai jasad mereka membisikkan ucapan: “Duhai lelaki, selamat tergoda perempuan, selamat berbahagia untuk kalian semua, dan waspadalah…! Inspirasinya akan selalu bernyanyi; kerana inspirasi tidak pernah menjelaskan dengan jelas kepada siapapun” dan perempuan adalah sibol cinta yang maha indah bagi setiap lelaki yang mencintainya.

Sastra Religiustitas yang Berkualitas

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Maraknya sastra religius belakangan ini memang menggembirakan. Hanya saja, ada sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan terkait dengan mutu atau kualitas sastra religius itu. Sebab, bagaimanapun sastra itu bermain dalam wilayah estetika.

Perkembangan sastra religius memang marak akhir-akhir ini. Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan pemahaman pada masalah religiusitasnya. Mengapa demikian? Dalam konteks sastra religius, pandangan umum menangkap bahwa yang dinamakan sastra religius adalah sastra atau karya sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen dan lainnya. Dengan begitu, penyebutan beberapa metafor dalam karya itu mengacu pada kekhasan dari sebuah agama. Tak heran bila posisi sastra religius selalu mengacu pada agama formal. Hanya saja, konsepsi umum itu mendaptkan penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks sastra yang memiliki kandungan religiusitas tinggi.

Salah satunya dari Jalaludin Rumi, seorang sufi dan penyair Persia terkemuka. Salah satu puisinya yang dikenal dalam hal ini adalah:

Jangan tanya apa agamaku
bukan Yahudi
bukan Zoroaster
bukan pula Islam

Karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
begitu Anda memberikan arti yang lain
Daripada makna yang hidup di hatiku


Abu Mansur Al Hallaj (tokoh sufi dikenal dengan ungkapan ektasenya: Anal Haq), juga pernah menulis gagasannya tentang religiusitas dan agama: Aku telah renungkan agama-agama, yang membuatku berusaha keras untuk memahaminya. Dan aku baru sadar bahwa agama-agama itu, kaidah-kaidah unik, dengan sejumlah cabang.

Di sisi lain yang bermain dalam konteks agama-agama formal adalah yang terkait dengan dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme dogmatis atau idealis dogmatis begitu mewarnai konstruksi dan penyebutan sastra religius itu. Dalam satu sisi, hal ini hampir sama dengan konsep realisme sosial yang digagas dalam sastra-sastra marxis, terlebih komunis.

Poisisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas berbeda dengan sitem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.

Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi, tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya hubungan dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga fungsi sosialnya, hubungan dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, bangunan estetis yang terkonstruksi dalam sastra religius tidak mengacu pada dogma yang bermain dalam tataran hukum positivisme atau syariah.

Dalam masalah keindahan, Sayyed Husein Nasr mengungkap bahwa dalam keindahan itu terdapat pengetahuan tertinggi dan kesucian, sehingga seni-seni tradisional yang meliputi jiwa murni seharusnya memang dikembangkan, sebab posisi kemanusiaan benar-benar terpelihara. Di sini, posisi agama tidak lagi beban dalam upaya mengejawantahkan ekspresi dalam wilayah estetika dan proses kreatif.

Kondisi ini akan berlaku, jika pemahaman agama tidak terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada kebebasan dan pembebasan ekspresi dalam seni memang harus ditafsir-ulangkan. Pembacaan tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari sejarah itu sendiri, seperti ide hermeneutika yang pernah digagas Gadamer.

Dengan landasan kemanusiaan, pembacaan terhadap realitas keagamaan itu bisa pula menggunakan strategi dekonstruksi Derrida, dengan paradigma bahwa sebuah teks itu tidak utuh. Ia memiliki celah dan jarak pemaknaan. Bisa pula dengan discourse Foucault dengan melihat asal pengetahuan dan konteks terjadinya teks. Umpamanya, jika agama formal melarang menvisualkan manusia, maka posisi seni tidak lagi terlarang menvisualkan manusia, dengan mempertimbangkan kembali bahwa manusia tidak lagi manifestasi dari ‘Tuhan’. Ada jarak pemaknaan dan rentang waktu dan bergesernya penafsiran. Di sisi lain, religiusitas dikembalikan pada posisi asali, tidak lagi apriori pada ‘the other’ atau manusia lain di luar keyakinan sendiri.

Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistimewaan pada pihak-pihak tertentu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur dinding konsep status quo. Sebab, ambiguitas pada realitas bisa memberikan nilai tambah bahwa seni, sastra dan budaya bisa menelusup dalam bayang Tuhan dalam memahami realitas kemanusiaan. Ia, seni dan sastra religius, bisa jadi tidak sekedar pengejawantahan nilai-nilai agama. Religiusitas menjelma ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.

Mungkin yang perlu dikedepankan di sini, bahwa proses penciptaan karya-karya religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia bersifat bebas dan merupakan proses pembebasan juga. Bisa menggunakan lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja ada pertanggung jawaban estetik. Dalam hal ini, bisa berupa sebagai pengangkatan pada celah dan sisi yang perlu diperbaiki dari agama itu, yang mungkin lebih menekankan pada aturan-aturan rutinitas dan tidak sampai pada penghayatan yang menyusup hingga tulang sumsum, dengan sentral masih berkutat dan berpihak pada sisi kemanusiaannya.

Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan, religiustitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubungan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada individu suatu kerangka oroentasi dan suatu objek kebaktian. Hal ini mengacu pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas Fromm dalam Religion dan Psychoanalysis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra: “Aku butuh Tuhan yang mengerti bagaimana menari”.

Dalam sastra Indonesia modern, sastra religius yang paling baik masih dipegang oleh cerpen AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen yang kental dengan tradisi Minang yang memang ketat dalam masalah agama, cerpen itu sepenuhnya mengusung nilai-nilai religiusitas yang tidak mempermasalahkan aspek religius dalam penyebutan Tuhan dalam agama formal, tetapi lebih menekankan pada faktor manusianya, dengan jalan menggugah keberadaan manusia itu sendiri dalam sistem religi yang berkembang di sana. Bahkan, dalam satu sisi, cerpen ini mempertanyakan nilai terdalam dari sistem religi itu, dengan memunculkan nilai-nilai religiustitas yang perlu ditumbuhkembangkan. Bahkan, ‘surau’ bisa pula dianggap sebagai penanda dari sebuah kebobrokan sistem yang hanya mengedepankan sebuah tatanan formal dan mapan dari sebuah agama.

Cerpen pujangga

Malam-Malam Iyem

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Ini sudah hari ke empat Iyem kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Iyem bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Iyem datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Iyem juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Iyem tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Iyem, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Iyem kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Iyem memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Iyem. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Iyem.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Iyem memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Iyem?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Iyem. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bejo tidak seperti itu!" sergah Iyem cepat. "Bejo mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Iyem, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Iyem. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bejo mencintaiku…," Iyem menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Iyem.
"Tetapi aku juga mencintai Bejo," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Iyem…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Iyem. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Iyem tertawa sumbang. "Bejo memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bejo mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bejo menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Iyem juga menjadi sibuk. Iyem menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bejo.

Karya Sastra dalam Membangun Moralitas Bangsa

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Sesuai dengan hakikatnya yang imajinatif dan estetis, sastra dengan sendirinya mengandung intensi pengarangnya. Intensi itu mungkin berupa pikiran dan perasaan, pandangan dan gagasannya, atau segenap pengalaman kejiwaannya. Aspek-aspek tersebut merupakan unsur pokok dalam karya sastra. Perpaduan aspek-aspek tersebut pada gilirannya membuat pembaca yang mampu memahaminya merasa senang dan dengan perasaan yang tidak mengenal jemu senantiasa menggaulinya. Bahkan, pada suatu ketika pembaca yang merasa terbius olehnya dengan seluruh keharuan yang dalam. Dengan kata lain, sifat-sifat karya sastra itu sendirilah yang menjadikannya dulce atau sweet 'menyenangkan'.

Penyair adalah penguasa kata-kata. "Tapi mereka tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur", kata penyair Taufiq Ismail, "mereka akan duduk santai, terbaring terpejam, membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan". Itulah agaknya yang dilakukan oleh penyair-penyair perempuan kita ini. Tidak semua penyair yang memberikan kontribusi hadir puisi dalam buku antologi tersebut hadir, tetapi agaknya kehadiran penyair dari Nagroe Aceh Darussalam, Sumbar, Makassar, Malang dan Jawa Tengah, agaknya cukup mewakili kawan-kawannya. Hampir semua perempuan penyair Riau tampil malam itu, sebut saja Murparsaulian, Hasnah Dumasari, Tien Marni, Herlelaningsih dan beberapa penyair muda yang berbakat seperti DM Ningsih

Pada sisi yang lain, pengalaman jiwa yang mampu menggugah keharuan pembaca itu pada dasarnya merupakan perpaduan pengalaman jiwa dengan sifat estetis karya. Dengan demikian, ia akan merupakan pengalaman yang besar dan agung, yang berisi pandangan hidup dan filsafat yang tinggi, yang dapat menimbulkan renungan-renungan moral. Pada gilirannya keagungan pengalaman jiwa itulah yang juga dapat memperkaya pengalaman jiwa serta mempertajam perasaan pembaca, sehingga karya sastra memenuhi fungsinya sebagai karya yang utile, useful, berguna bagi kehidupan manusia.

Dalam hubungannya dengan sejarah, Kuntowijoyo (1981) menyatakan adanya tiga fungsi sastra, yakni bahwa karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai fungsi sebagai cara pemahaman, cara komunikasi dan cara kreasi. Objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang disebut realitas Apabila realitas itu berupaya peristiwa historis, karya sastra dapat: (1).mencoba menerjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; (2).karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah; dan (3).seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarangnya.

Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol verbal itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarang. Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih merupakan asumsi teoretik yang dalam pelaksanaannya sukar membedakan cara-cara itu dalam sebuah atau di antara karya-karya sastra. Kubah Ahmad Tohari, Bawuk Umar Kayam, atau Pariyem Linus merupakan sekadar contoh bagi karya-karya sastra yang mencoba mengangkat peristiwa sejarah sebagai bahan bakunya.

Di samping kategori-kategori dan rumusan-rumusan fungsi sastra bagi kehidupan di atas, masih terdapat sejumlah rumusan lain yang berbeda pula sudut pandangnya. Rumusan itu antara lain yang dikemukakan oleh Moody (1971) yang menyorotnya dari segi pendidikan, oleh Spegele (1974) yang menyorot dari segi sosial dan politik, dan oleh Teeuw (1982) yang mempertimbangkannya dalam kaitannya dengan norma sosial-budaya.

Ada keterkaitan khusus antara karya sastra dengan moral. Banyaknya karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral membuktikan hal tersebut. Mengapa? Karena dengan terkandungnya nilai-nilai moral dalam sebuah karya sastra maka pengarang dapat merefleksikan pandangan hidupnya melalui nilai-nilai kebenaran sehingga karya sastra tersebut dapat menawarkan pesan-pesan moral yang berkaitan dengan sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan tingkah laku para tokoh dalam sebuah karya sastra dapat membantu membentuk pribadi pembaca sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak menjadi lebih baik lagi. Inilah pesona karya sastra dalam pendidikan moral.

Nilai moral yang akan disampaikan pengarang menyatu dalam alur cerita. Dalam cerita itu pembaca akan bertemu dengan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai peristiwa. Dengan sendirinya pembaca akan memahami perilaku-perilaku yang baik dan perilaku yang buruk. Melalui alur cerita itulah pengarang memberikan petunjuk, nasihat, atau pesan akhlak, perbuatan susila, dan budi pekerti. Moralitas dipahami sebagai tindakan sukarela kita, yakni kesadaran hati kita akan kemanusiaan. Bertindak moral berarti bertindak untuk menolong, membantu semata-mata, bukan untuk mencapai tujuan tertentu atau tergerak oleh kecenderungan-kecenderungan emosional. Dengan demikian moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar, dipandang dari sudut baik dan buruk.

Kesimpulan

Kita bersyukur, kreatifitas kesenian di Sumatera Utara telah menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan, sehingga tidak perlu khawatir, andaipun ramalan Naisbitt seperti yang dilansir di atas menjadi kenyataan. Kita, dengan gemuruh perkembangan seni, yang saat ini berlangsung tidak hanya di Pekanbaru, tapi juga pada tingkat kabupaten dan kota, sudah memiliki kesiapan secara baik dalam hal penunjukan identitas. Namun demikian, tentu saja gerakan pencarian dan pemantapan harus terus dilakukan, sehingga seni tidak hanya selesai sebagai tanda atau identitas semata, tapi jika bisa, harus sampai pada tahap menjadi diri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad. Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai budaya yang mencerminkan kehidupan manusia pada waktu tertentu. Karya sastra merupakan khazanah ilmu pengetahuan dan budaya. Oleh karena itu, penghayatan terhadap karya sastra akan memberikan keseimbangan antara pemerolehan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dan pembangunan jiwa di pihak lain. Keselarasan keduanya sangat berperan dalam pembangunan manusia. Pertanggungjawaban moral dalam karya sastra adalah sebuah kritikan pengarang terhadap sikap dan sifat buruk seseorang atau masyarakat.

Seperti ungkapan Hang Tuah, “Esa Hilang Dua Terbilang, patah tumbuh hilang berganti,” generasi kepengarangan di bawah Suman HS dan Selasih Seleguri, bermunculan pula sejumlah pengarang terbilang dengan wilayah garapan masing-masing, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsudin, Hasan Yunus, Idrus Tintin dan lain-lain. Tapi generasi ini miskin penyair perempuan. Semoga ke depan semakin banyak perempuan-perempuan yang mengokohkan dirinya sebagai penguasa kata-kata, yang mengajarkan kepada kita tentang kearifan, kejujuran dan kecerdasan dari generasi ke generasi.(winsa)

Cerpen pujangga

ZUminten Sang Pelayan Seksi

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Maria Mercedes, Maria Cinta yang Hilang, Marimar, semua ia ikuti. Semua ia suka. bahkan Wiro Sableng. ZUminten memang sableng. Genit. Tapi dia seksi, lho.....

Rambutnya Hitam lurus sebahu. Terurai bagaikan kawanan ombak bergulung-gulung menuju bibir pantai, beda-beda dikitlah rambutnya dengan Santi. Kulitnya bersih hitam manis. Bentuk wajahnya tidak lonjong seperti Cinta Laura. Cuma nasibnya beda. ZUminten tidak secantik Luna Maya atau Desy Ratnasari. Juga tentu tidak ngetop dan tidak pula kaya. Tidak begitu pintar seperti mereka-mereka tadi.

Tapi, ZUminten tidak bernasib malang seperti Alda yang meninggal pada usia sangat muda kerena narkoba. Buktinya? Sampai kini ZUminten masih hidup. Segar bugar dan montok, tidak pernah mengidap penyakit serius, tidak ngepil, tak pernah begadang semalam suntuk untuk berdisco-disco di klab malam seperti wanita-wanita zaman edan ini .

Tapi sayang, ZUminten hanyalah seorang pembantu rumah tangga. Pendidikan formal hanya sampai SD Negeri Impres. Lahir dan besar di desa. Anak pertama dari duabelas bersaudara, dari keluarga petani. Dan, hobinya itu tadi: nonton telenovela dan sinetron.

Tampaknya Fadli salah pilih, begitu pikir istrinya. Tapi bagi Fadli sendiri itu adalah pilihan yang tepat. Cari pembantu pada masa sekarang tidak mudah. ZUminten tidak rewel, masakannya enak, soal cuci baju dan setrika beres rapi dan wangi selain itu itu kalo sedang menyetrika ia sambil nembang soundtrack telenovela “Marimar”. kadang sering ditunda-tunda lantaran ia lebih mementingkan nonton telenovela atau sinetron ketimbang menyelesaikan pekerjaannya, tapi toh pada akhirnya beres juga. Bersih-bersih rumah juga oke. Lantai mengkilap dan harum. Kaca jendela bersih dari debu.

"Tapi, Mas, ZUminten itu genit. Kembalikan saja!! Aku khawatir, jangan-jangan Mas Fadli kepencut sama dia," protes istrinya pada suatu waktu.

Fadli hanya tersenyum kala itu sambil berhayal yang bukan-bukan. Dalam hati ia malah berkata, memang itulah yang kusuka. Itulah pembantu idamanku. Idolaku. Lumayan buat hiburan di kala pikiran sedang suntuk oleh pekerjaan kantor yang menumpuk. Buat cuci mata oke banget he..he…he…..

Suatu hari, ZUminten membaca tabloid Aneka dan ia paling suka baca tabloid itu, lantaran banyak informasi tentang sinetron. Waktu itu Nyonya Fadli sedang pergi arisan, Fadli sedang ke kantor, si kecil puji dan Edo sedang tidur. ZUminten tertarik pada satu informasi di sana. Ia segera mencari pulpen dan secarik kertas, lalu mencatat.

Pada hari berikutnya, setelah ia menerima gaji yang tidak seberapa besar, ZUminten pergi ke studio foto dekat Swalayan Sekalian pergi belanja harian. Nyonya Fadli sempat heran, ZUminten pergi belanja kok pakai pakaian paling bagus yang dia miliki? Pakai make up lagi? ZUminten cuek saja! namanya juga usaha.

Nah, sejak saat itu ia sering pergi-pergi. Tak tahu ke mana tujuannya. Fadli terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Istrinya sering uring-uringan lantaran ulah ZUminten yang makin neyebalkan. Jika ditanya, ZUminten hanya menjawab: bisnis bu! Bisnis bu?

"ZUminten, pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Wati, istri Fadli yang kini sudah berusia 40-an plus gendut.

"Sudah, Bu." ZUminten mengangguk.

"Cuci pakaian?"

"Sudah. Sterika juga sudah. Masak sudah," jawab ZUminten dengan semangat 45.

"Lantas kamu mau ke mana?" selidik Wati dengan sedikit curiga.

"Bisnis," jawab ZUminten tanpa ekspresi.

"Bisnis apaan, Yu?" Wati melotot heran.

"Kamu di sini digaji sebagai pembantu. Malah nyambi bisnis. Bisnis apaan sih?" lanjut Wati semakin curiga.

"Lho, pokoknya pekerjaan saya kan sudah selesai. Hanya sebentar kok, Bu! ntar sore saya sudah sampai di rumah." ZUminten ngotot memperjuangkan little misi-nya.

"Kamu mulai macam-macam, ya. Kalau ada apa-apa risikonya kamu tanggung sendiri saya tidak mau tahu."

"Ini bisnis 100 % halal, lho, Bu! hitung-hitung cari tambahan untuk si mbok di kampung"

"Ya, sudah, bisnis sana." sedikit kesal dan tidak peduli.

Nah, itulah pada mulanya. Seminggu ZUminten pergi "bisnis" bisa tiga empat kali dalam sehari. Wati kian kesal. Tapi ZUminten ngeyel. Herannya lagi ZUminten sering dapat telepon dari seseorang yang mengaku bernama Bonar. Wah, ZUminten pacaran sama Bonar mungkin. Ini berbahaya, pikir Wati. Kalau terjadi sesuatu, misalnya hamil, aku bisa dipersalahkan oleh keluarganya.

Hingga pada suatu ketika ... terjadilah sebuah kejutan.

Jam dinding menunjuk pukul 07.30 WIB. Fadli dan istrinya duduk-duduk santai di ruang tengah sambil membaca-baca Koran dan majalah. puji dan Edo main mobil-mobilan di lantai. Dan, ZUminten duduk di lantai, dekat anak-anak majikannya, sambil deg-degan menantikan sebuah sinetron baru yang ditayangkan salah satu stasiun televisi.

Lagu soundtrack mengalun. Di layar televisi muncul judul sinetron: Cinta di Rumah Kos. Paduan animasi pengantar awal sebuah sinetron. Bintang-bintang utama tampil. Lalu sekilas pemain pembantu. ZUminten berkeringat, walau ruangan itu dingin oleh AC. Sekilas wajahnya tampil. Hatinya berbunga-bunga. Senang, gembira, bangga, dan sebagainya. Fadli dan Wati tak memperhatikan.

Episode pertama dimulai. Fadli dan Wati meletakkan majalah di tangannya. Mereka mengalihkan perhatian ke televisi, meski masih setengah-setengah. Sebuah adegan: di sebuah rumah mewah seorang laki-laki berusia 50 tahun duduk di kursi. Seorang pembantu dengan genit memijit-mijit bahu dan punggung lelaki itu.

"ZUminten, pijit yang ini. Agak keras. Nah, begitu," kata lelaki itu.

"Saya ini pembantu multibisa, lho. Tuan? Bisa masak juga bisa mijit. Mau dipijit yang mana? Jempolnya atau kelingkingnya? Pijit halus bisa, pijit kasar bisa, pakai alat juga bisa," ujar pembantu yang diperankan oleh ZUminten.

"ZUminten!" seru Fadli dan Wati sambil terpana. "Itu kamu, ya?"

"Iya," jawab ZUminten tersipu malu-malu kucing.

"Kamu main sinetron?" Wati hampir tak percaya dan bercampur syirik.

"Iya, Bu. Untuk nambah-nambah penghasilan buat si Mbok di kampung," jawab ZUminten.

"Jadi itu yang kamu namakan bisnis itu?" lanjut Wati.

"Inggih, Bu!!"

"Astaga, ZUminten," timpal Fadli.

"Tak kusangka kamu bisa main sinetron. Waduh…!!, Waduh…!! Sejak kapan?"

"Baru kali ini."

Mereka pun lalu menyaksikan sinetron di televisi itu dengan penuh perhatian, sambil sesekali berkomentar pendek tentang permaianan ZUminten. Tentu berbagai macam perasaan berbaur di hati ZUminten, Fadli, dan Wati. Sampai akhirnya episode pertama usai. Acara di televisi berganti dengan kuis 1 Miliar yang di bawakan oleh Nico sihahan.

"Luar biasa. Tak kusangka-sangka kalau kamu bisa main sinetron. Gimana awalnya, Yu?" tanya Fadli masih dengan keheranannya.

"Saya kirim lamaran lengkap dengan foto. Itu, yang di majalah Aneka: dibutuhkan beberapa figuran untuk sinetron. Tak tahunya saya dipanggil. Lalu tes. Saya diterima jadi figuran. Peran pembantu rumah tangga yang genit dan konyol," tutur ZUminten bangga.

"Kata sutradaranya, saya pas dengan peran itu."

Fadli dan Wati geleng-geleng kepala kagum bercampur tidak percaya.

"Ya, saya mau bilang sama tuan dan nyoya. Karna saya sibuk syuting, maka dengan terpaksa saya mengundurkan diri sebagai pembantu di sini. Saya jadi pemeran pembantu rumah tangga di sinetron saja," ungkap ZUminten.

"Maafkan saya, jika nasib saya harus berubah. Mulai besok saya pindah. Saya mau kos di dekat lokasi syuting."

"ZUminten ... ZUminten, nasibmu memang harus berubah," komentar Fadli.

"Kamu cantik, manis, kulitmu bersih, rambutmu panjang, wajahmu bulat apalagi body kamu HmmMMh...."

"Eh, pakai muji-muji segala," tukas istrinya.

"Cemburu, ya?" Fadli meledek.

"Ya, tentu dong!!!." Sang istri sewot seperti kebakaran jenggot.

"Dengar dulu, ini mungkin untuk yang terakhir kali aku menasihati ZUminten," kata Fadli. Lalu ia pun melanjutkan, "Tubuhmu tinggi semampai. Kamu memang tidak pantas jadi pembantu rumah tangga. Kamu lebih pantas jadi artis sinetron. Figuran tak jadi soal. Lama-lama kamu bisa jadi pemeran utama. Aku doakan, semoga kamu jadi artis top kelak. Tapi jangan lupa sama kita di sini. Sering-seringlah main kemari. Anggaplah ini rumahmu juga."

"Apa-apaan? Justru kalau sudah top jangan kemari, pasti sombong, pasti nggak mau kenal kita lagi, kan uda jadi artis?!," potong Wati dengan nada yang tidak menentu.

"Lagi-lagi cemburu," komentar Fadli.

"Oh, iya, Yu, aku boleh main ke tempatmu, kan?"

"Nah, makin genit, ya!" istri Fadli kian jengkel melihat tingkah suminya yang mulai ganjen.

ZUminten pun berakting. Ia berdiri dan menghampiri Fadli. Dengan genit ia memijit-mijit bahu Fadli sambil berkata,

"Saya pembantu yang multifungsi, lho. Bisa masak, bisa mijit. Tuan pingin saya pijit apanya. Jempol atau kelingking atau yang lain nggak masalah. mau yang halus atau yang kasar?"

"ZUminten.....!!!!" bentak Wati kesalnya minta ampun dan jengkel, Wati mencubit lengan ZUminten seraya ia ingin menerkam pembantunya itu.

Fadli tertawa terbahak-bahak.

Yah, pembantu idamanku harus pergi dari rumah ini. Ah, ZUminten memang cantik dan seksi, bisik Fadli dalam hati.

Hamzah al-Fansuri Sang Penyair dan sufi agung

Oleh Mhd Darwinsyah Purba, S.Sos

SYEIKH Hamzah al-Fansuri telah banyak dibicarakan orang, namun tidak dapat dinafikan perkara-perkara baru sentiasa ditemui oleh para peneliti. Gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dipastikan sebagai gambar imajinasi, karena pada zaman beliau memang belum ada kamera. Sebenarnya ia berlaku bukan pada Syeikh Hamzah al-Fansuri saja, tetapi juga terjadi pada ulama-ulama lainnya, termasuk Imam al-Ghazali, Syeikh 'Abdul Qadir al-Jilani, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Wali songo dan lain-lain. Sungguh pun dipastikan gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah gambar imajinasi, namun dalam artikel ini disiarkan juga dan ia merupakan pertama kali disiarkan dalam media cetak secara meluas.

Hampir semua pengkaji yang membicarakan tokoh ulama ini pada zaman modern, selalu merujuk kepada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas. Barangkali dunia memang mengakui bahawa beliaulah orang yang paling banyak memperkenalkan Syeikh Hamzah al-Fansuri ke peringkat antarabangsa. Walau bagaimanapun apabila kita membaca keseluruhan karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas yang membicarakan Syeikh Hamzah al-Fansuri, bukanlah bererti kita tidak perlu mentelaah karya-karya lain lagi, kerana apabila kita mentelaah karya-karya selainnya, terutama sekali yang masih berupa manuskrip, tentu sedikit sebanyak kita akan menemukan perkara-perkara baru yang belum dibicarakan. Karya terkini tentang Syeikh Hamzah al-Fansuri ialah buku yang diberi judul “Tasawuf Yang Tertindas” Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Buku setebal 444 halaman itu dikarang oleh Dr. Abdul Hadi W.M. dan terbitan pertama oleh Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001. Sama ada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas mahupun karya Dr. Abdul Hadi W.M., sedikit pun tiada menyentuh gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri seperti yang tersebut di atas.

Asal-usul dan pendidikan
Prof. A. Hasymi pada penyelidikannya yang lebih awal bertentangan dengan hasil penyelidikannya yang terakhir. Penyelidikan awal, ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri nampaknya tidak ada hubungan adik beradik dengan ayah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan terakhir beliau mengatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri itu adalah adik beradik dengan Syeikh Ali al-Fansuri. Syeikh Ali al-Fansuri adalah ayah kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan awal yang saya maksudkan ialah yang ditulis oleh Prof. A. Hasymi dalam Ruba'i Hamzah Fansuri yang dapat diambil pengertian daripada kalimatnya, "Ayah Hamzah pindah dari Fansur (Singkel) ke Barus untuk mengajar, kerana beliau juga seorang ulama besar, seperti halnya ayah Syeikh Abdur Rauf Fansuri yang juga ulama, sama-sama berasal dari Fansur (Singkel)" (terbitan DBP, 1976, hlm. 11).

Mengenai penyelidikan Prof. A. Hasymi yang menyebut Syeikh Hamzah al-Fansuri saudara Syeikh Ali al-Fansuri atau Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri adalah anak saudara kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri, dapat dirujuk kepada kata pengantar buku Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh karya Abdul Hadi W.M. Dan L. K. Ara, diterbitkan oleh Penerbit Lotkala, tanpa menyebut tempat dan tarikh. Walaupun Prof. A. Hasymi belum memberikan suatu pernyataan tegas bahawa beliau memasukkan tulisannya yang disebut dalam Ruba'i Hamzah Fansuri, namun kita terpaksa memakai penyelidikan terakhir seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya, “Jaringan Ulama” mengatakan bahawa beliau tidak yakin bahawa Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu benar-benar keponakan (anak saudara) Syeikh Hamzah al-Fansuri. "Sebab, menurutnya, tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu." Bagi saya ia masih boleh dibicarakan dan perlu penelitian yang lebih sempurna dan berkesinambungan. Sebab yang dinamakan sumber pendukung sesuatu pendapat, bukan hanya berdasarkan tulisan tetapi termasuklah cerita yang mutawatir. Kemungkinan Prof. A. Hasymi yang berasal dari Aceh itu lebih banyak mendapatkan cerita yang mutawatir berbanding penelitian barat yang banyak disebut oleh Azra. Diterima atau tidak oleh pengkaji selain beliau, terpulanglah ijtihad masing-masing orang yang berkenaan.

Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syeikh Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda ternyata juga ada perubahan daripada tulisan beliau yang termaktub dalam Ruba'i Hamzah Fansuri selengkapnya, "Hanya yang sudah pasti, bahawa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M)." Yang dimaksudkan dengan "ternyata juga ada perubahan," ialah pada kalimat, "sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda," menjadi kalimat "akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda."

Tarikh lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, adapun tempat kelahirannya ada yang menyebut Barus atau Fansur. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahawa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.

Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam kertas kerjanya menyebut bahawa ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637- 1687 M) meninggal dunia dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang. Bahawa Syeikh Ismail Aceh itu pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi menggantikan Gubernur Wan Ismail asal Patani yang melepaskan jabatan itu kerana usianya yang lanjut. Drs. Abdur Rahman Al-Ahmadi berpendapat baru, dengan menambah Syahrun Nawi itu di Sri Banoi Sri Vini, selain yang telah disebutkan oleh ramai penulis bahawa Syahrun Nawi adalah di Siam atau Aceh. Dalam Patani, yaitu antara perjalanan dari Patani ke Senggora memang terdapat satu kampung yang dinamakan Nawi, berkemungkinan dari kampung itulah yang dimaksudkan seperti yang termaktub dalam syair Syeikh Hamzah al-Fansuri yang menyebut nama Syahrun Nawi itu. Kampung Nawi di Patani itu barangkali nama asalnya memang Syahrun Nawi, lalu telah diubah oleh Siam hingga bernama Nawi saja. Syahrun Nawi adalah di Patani masih boleh diambil kira, kerana pada zaman dulu Patani dan sekitarnya adalah suatu kawasan yang memang ramai ulamanya. Saya telah sampai ke kampung tersebut (1992), berkali-kali kerana mencari manuskrip lama. Beberapa buah manuskrip memang saya peroleh di kampung itu. Lagi pula antara Aceh dan Patani sejak lama memang ada hubungan yang erat sekali. Walau bagaimanapun Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syahrun Nawi itu adalah nama dari Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran dari Siam yang datang ke Aceh pada masa silam yang bernama Syahir Nuwi, yang membangun Aceh pada zaman sebelum Islam.

Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu yang memakan masa lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikah, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, ia juga dapat berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.

Karya-karyanya
Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastra dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. kemasyurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini coba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, yaitu:
1). Syarb al- 'Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin.
2). Asrar al-'Arifin fi Bayan 'Ilm as-Suluk wa at-Tauhid.
3). Al-Muntahi. 4). Ruba'i Hamzah Fansuri.
5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan.
6). Kitab fi Bayani Ma'rifah.
7). Syair Si Burung Pingai.
8). Syair Si Burung Pungguk.
9). Syair Sidang Faqir. 1
0). Syair Dagang. 11). Syair Perahu.
12). Syair Ikan Tongkol.

Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang berjudul Al-Ma'rifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas. Mengakhiri artikel ini di sini perlu dijelaskan bahawa makam Syeikh Hamzah al-Fansuri telah ditemui sebagaimana ditulis oleh Dada Meuraxa: "Di satu kampung yang bernama Obor terletak di hulu Sungai Singkil, terdapat makam ulama dan pujangga Hamzah Fansuri. Makam itu bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri Mursit Syeikh Abdurrauf = Hamzah Fansuri guru Syeikh Abdur Rauf."

Mengenai tahun wafat Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat selama ini tidak pernah disebut. Tetapi Azra dalam Jaringan Ulama menyebut bahawa ulama sufi itu wafat pada tahun 1016 H/1607 M. Disebutkan tahunnya itu disekalikannya membantah bahawa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri (Al-Sinkili, menurut istilahnya) "tidak mungkin bertemu dengan ulama sufi itu", menurutnya "Al-Sinkili bahkan belum lahir". Seolah-olah Azra menolak mentah-mentah tahun kelahiran Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disebut oleh A. Hasymi tahun 1001 H/1592 M itu, kemungkinan dia berpegang pada tahun kelahiran 1024 H/1615 M, atau pendapat lain 1620 M, sedangkan tahun kewafatan Syeikh Hamzah al-Fansuri yang disebutnya 1016 H/1607 M itu belum juga tentu betul. Wallahu a'lam.

Penutup
Pada zaman kita selain orang yang suka kepada keaslian, sebaliknya sangat ramai yang suka kepada sesuatu yang bercorak tiruan. Bunga tiruan lebih mendapat pasaran daripada bunga yang asli. Ramai yang menyanggah ilmu yang bercorak rohani, kerana terpengaruh dengan persekitaran yang bercorak fantasi. Pembangunan fisikal lebih meluas dibicarakan berbanding pembinaan iman dan makrifat.