Minggu, 09 November 2008

Peranan Politik Mahasiswa dalam Pilkada

WASPADA ONLINE
Oleh Mhd Darwisyah Purba, S.sos


Pada lembaran sejarah, peranan mahasiswa selalu menghiasi prosesi penyelenggaran kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebut saja, awal kebangkitan nasional (1908), sumpah pemuda ‘persatuan nusantara’ (1928), mempersembahkan kemerdekaan (1945), menumbangkan Orde Lama (1966), menolak intervensi asing (1974), mengapungkan wacana regenerasi kepemimpinan (1978), menggulingkan Orde Baru (1998) dan partisipasi dalam pemilu demokratis (2004).

Begitu besar peran dan partisipasi mahasiswa dalam mendorong sebuah perubahan besar, Jenderal AH Nasution sampai mengatakan, “kalau tak ada mahasiswa tak ada proklamasi dan takkan ada proklamasi”. Mahasiswa dan permasalahan bangsa tak dapat dipisahkan.

Mahasiswa menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), susunan W.J.S Poerwadarminta adalah pelajar perguruan tinggi; student. Sedangkan menurut S. Parlin Tobing, Kasi Pendidikan dan Penerangan RRI Nusantara I; “Mahasiswa dalam pengertian sederhana adalah pelajar perguruan tinggi. Dunia perguruan tinggi adalah merupakan dunianya mahasiswa tetapi lebih jauh, mahasiswa dalam pengertiaannya adalah kelompok manusia penganalisa yang mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan penalaran individual. Sedangkan perguruan tinggi yang mendidik mahasiswa melalui pendidikan moral yang terakhir bertanggung jawab untuk mendidik kader-kader pembangunan.

Karena mahasiswa merupakan objek dan subjek dalam proses pembinaan daya penalaran, maka mahasiswa harus ditinjau dari beberapa segi yaitu: Mahasiswa ditinjau dari segi politik adalah para mahasiswa ada yang beranggapan, bahwa mereka merasa bertanggung jawab atas kelancaran jalannya pemerintahan dan keselamatan masyarakat. Karena merasa ikut dalam kegiatan politik, yang katanya sebagai pelaksana social control (kontrol sosial).

Menurut David Easton dalam bukunya yang berjudul The Political System mengatakan bahwa, “kehidupan politik mencakup berbagai macam kegiatan yang mempengaruhi kebijaksanaan dari pihak yang berwenang, yang diterima oleh masyarakat dan mempengaruhi cara untuk melaksanakan kebijaksanaan itu”.

Easton menambahkan bahwa: “kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan kebijaksanaan untuk suatu masyarakat”. Dalam hubungan dengan itu, sejenak kita perlu menoleh ke masa lampau. Pada zaman Orde Lama mahasiswa pernah dijadikan Pressure group oleh interest group, mahasiswa dijadiakan kelompok penekan; bukan untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa, melainkan ditunggangi untuk kepentingan dan keuntungan kaum interest tadi.

Kedudukan mahasiswa di masyarakat sebagai kelompok pemuda intelektual yang murni dan berani dengan cara yang luwes telah diseret untuk berpartisipasi dalam arena politik. Mahasiswa telah menjadi rebutan kaum interest group yang begitu banyak, ada memang diantara mahasiswa yang kebetulan mempunyai jiwa kepemimpinan, terpukau oleh gerakan politik. Ditinggalkanlah dunia kemahasiswaan, lalu menceburkan diri ke dalam dunia politik, kemudian, ketika ia memperoleh kedudukan dalam lembaga legislatif atau eksekutif. Maka, yang diperjuangkan bukan lagi kepentingan mahasiswa.

Mengacu kepada hal tersebut, mahasiswa sebagai salah satu elemen progresif masyarakat, sangat dibutuhkan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal). Minimal, kehadiran mahasiswa mampu berperan sebagai social control. Pada tahun 2004 lalu, sebagian mahasiswa telah unjukgigi terutama berposisi sebagai pemantau pemilu. Begitu pula pada pilkadasu (pemilihan Kepala daerah Sumatera) nanti, mahasiswa harus turun gunung untuk menyukseskannya di daerah masing-masing.

Sejauh ini, kalangan mahasiswa masih tetap teguh memegang komitmen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan berpihak pada kebenaran. Bila kita sinkronkan dengan pelaksanaan pilkada, tentu mahasiswa akan menyuarakan agar pilkada dapat menjadi langkah baru untuk menciptakan kondisi bersih dan good govermence.

Mahasiswa harus bergerak, merancang rencana ideal untuk berpartisipasi. Kelengahan mahasiswa dalam mengamati hal-hal bersifat teknis, bisa berakibat fatal. Tak berlebihan bila diungkapkan, bahwa dalam era kekinian, selain mahasiswa, baik pihak penyelenggara –KPU- maupun calon kepala daerah beserta tim sukses, sulit dipercaya secara kasatmata.

Pilkada kali ini sangat sangat menentukan proses demokrasi lokal dan arah daerah ke depan. Optimisme akan terciptanya suatu kemurnian dan keluwesan pada pilkada ini, akan merupakan hal yang signifiakan untuk melaksanakan pilkada. Hal ini, akan mengingatkan kita pada sebuah adagium ‘awal menentukan langkah berikut’.
Menurut Roger F. Soltau dalam Introduction To Politics: “Ilmu politk mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain”. Political science is the study of state, its aims and purpuse.............the institutions by wich these are going to be realized, its relation with its individual members, and other state. (Budiarjo, 2004: 4-9)

Ada pendapat mengatakan bahwa kata “politik” dalam bahasa sehari-hari sudah mempunyai arti khusus yang kurang baik yang menimbulkan assosiasi pada perbuatan-perbuatan yang tidak jujur, curang dan jahanam. Sarjana ilmu politik Nazi Jerman Carl Schmitt dalam karangannya “Der Bergriff des polistischen” telah menambahkan arti yang buruk pada kata politik itu dengan merumuskan secara berani dan tegas pengertian politik suatu pengertian yang membedakan antara “kawan dan lawan” (Sudjono, 1955: 3). Bagi Schmitt, politik itu adalah alat belaka untuk membedakan antara kawan dan lawan. Menurutnya hubungan kawan inilah Freud und Feind Vernaltnis yang merupakan esensi politik karena adanya keberatan-keberatan tersebut maka sebutan “Politik” untuk ilmu politik harus ditolak secara prinsipil.

Dalam buku pengantar sosiologi politik (Michael Rush dan Philip Althop), dipaparkan bahwa setiap orang −terkhususkan mahasiswa− bisa berpartisipasi dalam politik −pilkada− dengan cara masing-masing. Sebagai contoh, mahasiswa dapat melakukan diskusi politik pilkada di kampus; menulis berkaitan dengan politik pilkada di media massa; atau terlibat langsung dalam partai politik tim sukses. Karena itu, ada beberapa poin bagi mahasiswa untuk berpartisipasi dalam pilkada.

Pertama, mengapungkan wacana pilkadal di tengah masyarakat. Pandangan sekilas, pilkada belum membumi.
Kedua, menggencarkan voter education (pendidikan massa). Mengingat, pelaksanaan pilkadal sudah di depan mata, seakan mempertontonkan suatu ketergesa-gesaan. Maka dari itu, voter education perlu digencarkan, di sini partisipasi mahasiswa dalam membantu KPUD, dapat mengefektifkan pemerataan dalam proses pendidikan, berkaitan dengan proses pilkadal kepada masyarakat daerah.

Ketiga, mengawal dan memantau pelaksanaan pilkada. Pada pilkadasu 2008, mahasiswa cukup berperan dalam menyukseskan pelaksanaan pemilu dengan berafiliasi pada pemantau independen. Karena itu, pada hari pelaksanaan pilkada, mahasiswa dapat berpartisipasi dalam memantau serta mengawal proses pelaksanaanya.

Keempat, membangun wacana atau opini publik. Mahasiswa dapat menggiring masyarakat, agar memilih untuk pemimpin secara jujur dan sesuai hati nurani, serta menghimbau masyarakat untuk menghindari hal-hal yang dapat mengurangi nilai-nilai kemurniaan, dalam hal ini money politics pilkada. Selain itu, menggencarkan wacana bahwa kesuksesan pilkadal menentukan masa depan daerah.

Kelima, menggelar acara debat dan diskusi seputar visi dan misi kepala daerah di kampus. Cara efektif lainnya, mahasiswa dapat berpartisipasi dengan menggelar debat terbuka sebelum pilkadal bagi calon kepala daerah untuk menyampaikan visi dan misi serta kebijakan-kebijakan untuk menakhodai daerah lima tahun kedepan. Dari sini, mahasiswa dapat menilai, apakah yang bersangkutan layak untuk dipilih.

Berbicara dalam tatanan sejarah, gagasan pilkada merupakan adopsi wacana city state (negara kota) di zaman Yunani kuno. Pilkadal Daerah mendorong kita untuk menoleh kepada beberapa negara yang telah menerapkan sistem pemilihan lokal secara langsung. Secara riil, praktik ini tidak menimbulkan benih-benih keruntuhan nilai kesatuan bangsa dan negara, bahkan merealisasikan konsep secara utuh. Dalam pilkadasu, beberapa perlu di-booming-kan ke tengah-tengah masyarakat.

Pertama, pilkada merupakan potret utuh proses demokrasi. Konsekuensi logis dari pilkadasu secara langsung, memberikan inspirasi masrakat di daerah. Oleh sebab itu, pilkada diharapkan dapat melaksanakan proses pemilu demokratis di daerah.

Kedua, legitimasi pemimpin terpilih sangat kuat. Coba kita lihat, pemimpin terpilih, memiliki kedudukan dan berlegitimasi kuat. Harapan kita pilkada kali ini merupakan konsep ideal untuk memunculkan pemimpin kuat, pilihan atau selera rakyat daerah. Bukan pilihan wakil rakyat DPRD atau pesanan pemerintah pusat.

Ketiga, pemimpin terpilih harus memahami permasalahan daerah yang terpencil. Suatu hal penting, bahwa pemimpin daerah terpilih harus tahu dan tanggap dengan pelbagai permasalahan daerah tersebut baik dari ekonomi dan pendidikannya. Untuk itu, harapan masyakat dengan pilkada akan lahir seorang pemimpin daerah, tidak saja ingin tahu permasalahan daerah, tapi serius menanggapi dan berhasrat mencari solusi terbaik untuk memajukan daerah.

Untuk memenuhi ketiga harapan di atas, elemen mahasiswa yang selama ini cukup peduli dan tanggap, harus menunjukan eksistensi dan peran sebagai agent of change atau agen perubahan. Selain itu, elemen mahasiswa tak boleh lengah dan meremehkan terhadap proses pilkada. Pilkadasu ini, salah satu penentu masa depan Sumatera Utara.

(Mantan Sekretaris BEM Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi ‘Pembangunan’ Medan)

0 comments: