Minggu, 09 November 2008

Cerpen Pujangga

Rumi Anak Emas

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Perjalan mencari ilmu bagaikan anak-anak sungai menuju samudera biru, jalan menuju sukses teramat pahit rasanya namun suatu ketika akan menghasilkan buah yang sangat manis. Karena para ilmuwan, satrawan dan cendikiawan adalah para pencari jalan tuhan. Mereka telah menyeluruhi pahit-manisnya dalam pencarian dalam meraih cita-cita yang diinginkan. Merekalah pejuang-pejuang hebat yang akan menjadi pemimpin agama, bangsa dan rumah tangganya kelak dikemudian hari.

Namanya Rumi. Seorang anak tunggal, dari keluarga miskin. Bapak Ibunya seorang manusia biasa yang kerjanya tidak tentu alias serabutan. Tetapi meski begitu, kedua orang tuanya tidak pernah membiarkan Rumi untuk bernasib seperti mereka. Bapak dan Ibu Rumi meski merupakan orang-orang pinggiran yang hidup hanya cukup untuk makan hari ini saja, tetapi mereka lebih agamais dari kebanyakan orang lain pada umumnya. Mereka selalu bersyukur kepada tuhan sang penggenggam langit dan bumi. atas anugerah yang dilimpahkan yaitu seorang anak yang bernama Rumi al-Qardhawi nama pemberian nenek yang berada di kota Barus yang berada daerah Tapanuli Tengah di salah kota tempat mengajar SYEIKH Hamzah al-Fansuri seorang Sastrawan dan sufi agung yang telah banyak dibicarakan orang yang hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Rumi adalah sosok anak yang tidak pernah meninggalkan Shalat lima waktu dan setiap tengah malam selalu shalat Tahajud selain itu ia juga rajin menulis puisi-puisi dan bermain gitar untuk melepas inspirasinya. Sehabis shalat kedua orang tuanya selalu memanjatkan doa agar anak satu-satunya bisa berguna bagi Agama, keluraga dan bangsa. Hanya satu tekad yang ingin diwujudkan oleh orang tua Rumi, yaitu menyekolahkan Rumi setinggi-tingginya walaupun perekonomian mereka pas-pasan namun agar menjadi orang yang berhasil, yang bernasib lebih baik dari kedua orang tuanya.

Rumi yang sudah duduk di bangku SD dari situlah karya-karya kecilnya mulai dituangkan lewat lomba-lomba menulis di sekolahnya sehingga hasil yang di dapat dari lomba tersebut dapat melanjutkan sekolahnya dengan mendapat beasiswa karena karya-karya selalu menjadi jawara baik tingkat sekolah maupun lomba-lomba yang di adakan di luar sekolah dan Rumi mulai tumbuh dewasa, perlahan-lahan mulai memahami benar betapa susahnya kedua orang tuanya, yang pontang-panting, banting tulang dan utang sana-sini berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.

Ada suatu keinginan bagi Rumi untuk membantu kedua orang tuannya. Suatu saat Rumi memberanikan diri menjadi pengamen jalanan dan penyemir sepatu tanpa membritahukan kepada kedua orang tuanya. Dan uang hasil mengamen dan menyemir sepatu, dia belikan buku-buku pelajaran dan ia sendiri memang maniak membaca terkadang di tengah-tengah hiruk-pikuk jalan raya kalo tidak kesibukan mengamen dan menyemir ia menyempatkan untuk membaca karena kata guru ngajinya bahwa dengan rajin-rajin membacalah engkau karena dengan membaca engkau dapat mengetahui hal-hal yang tidak pernah engaku ketahui sebelumnya dan bukankah firman Allah yang pertama turun adalah “Iqro” yang artinya “bacalah” dari hal tersebutlah ia begitu tekun dan rajin membaca untuk menambah hasanah berpikir.

Tanpa disadari Orang tuanya yang melihat keanehan tersebut lalu bertanya pada diri Rumi padahal orang tuanya tidak pernah memberi uang untuk membeli buku-buku yang ia butuhkan tapi kenapa ia setiap pulang dari misi rahasianya selalu memegang buku-buku itu .

“Nak, darimana buku-buku ini, setiap bulan selalu kamu peroleh buku-buku pelajaran. Padahal Bapak Ibumu tidak memberimu banyak uang”. Dengan penuh tanda tanya besar dan sedikit curiga namun nadanya masih pada koridor-koridor yang lemah lembut

“Buku ini hasil sumbangan dari seorang dermawan di sekolah pak” penuh perasaan yang di hantui rasa takut yang tersembunyi dari balik hatinya karena sebenarnya ia sedikit tidak begitu pandai berbohong apalagi sama kedua orong tuanya itu namun untuk misi kecilnya itu ia harus berbohong.

“Oh begitu, syukurlah....semoga Dermawan itu mendapat Pahala yang banyak di sisi Allah SWT.”

Haripun berjalan lagi, jarum jam laksana air sungai yang tidak pernah mau berhenti mengalir ke muara, detik demi detik berubah menjadi hari demi hari dan bergulir seperti biasanya. Embun yang menghiasi mawar kelopak mawar dan dedaunan masih manari-nari di pagi hari, dan langit juga masih berwarna biru-putih di. Rumi yang tidak ingin melihat orang tuanya menderita, tetap membantu kedua orang tuanya secara diam-diam. Tetapi lambat laun mereka pun akhirnya tahu.

“Nak, kamu ini masih kecil. Kami tidak mau kamu menjadi seperti ini. Tolong, belajarlah saja yang tekun. Urusan uang sekolah, biar bapak dan ibumu yang memikirkan jalan keluar. Kami ingin kamu benar-benar belajar, agar nasibmu tidak seperti kami yang bodoh dan miskin ini. Biarlah bapak ibumu yang menderita, asal kamu bahagia selalu sepanjang hayatmu bersama istri dan anak-anak”.

“Benar, Rumi apa kata bapakmu nak, biar kami yang mencari jalan keluar bagaimana agar kamu berhasil” nada suara lemah lembut ini begitu sambil mengelus-elus rambut anak lelaki satu-satunya

“Kamu buat malu bapak saja!!! Disuruh sekolah malah ngamen!!!”

“Sudahlah pak dia kan masih anak-anak yang belum tahu apa-apa”

“Belajar itu penting jangan seperti kami, bapak dan ibu ini miskin karena tidak sekolah tau kamu..!!!!”

Tak terasa Rumi air mata membanjiri pipih lugu dan tulus itu. Sebuah air mata antara sedih dan bangga. Sedih karena melihat kedua orang tuanya hidup susah dan bangga karena dalam kesusahan hidup, kedua orang tuanya masih memikirkan kebahagiaan dirinya.

Tahun-demi tahun berganti, Rumi pun sekarang sudah berhasil duduk diperguruan tinggi ternama. Hasil jerih payah kedua orang tuanya tidak sia-sia. Dari hasil kerja serabutan dan hutang sana sini, orang tua Rumi berhasil menyekolahkan anaknya. Tetapi apa daya, hutang-hutang yang dipinjam orang tua Rumi dari seorang rentenir belum bisa terlunasi. Kesehatan kedua orang tuanya juga mulai menurun dan sering sakit-sakitan karena hidup yang tidak layak. Dan, Rumi pun tahu persis apa yang terjadi. Untuk itu Rumi pun memberanikan diri kuliah sambil bekerja lagi, meski tadinya orang tuanya ingin agar Rumi konsentrasi belajar agar cepat lulus kuliah.

Dari hasil memberi kursus-kursus privat di sana-sini, Rumi mulai bisa membantu membiayai kuliahnya dan mencicil hutang orang tuanya. Tetapi ternyata masih kurang. Hutang yang sudah jatuh tempo membuat rumah mungil satu-satunya disita oleh rentenir sialan itu karena kalo tidak segera dilunasi bapak akan dilaporkan ke pihak yang berwajib. Dan terpaksa mereka mengontrak sebuah rumah petak yang jauh dari kesan layak huni.

Kondisi sakit yang cukup parah yang dialami bapaknya, membuat Rumi agak gugup menghadapi kehidupan ini namun ia tidak pernah berburuk sangka kepada tuhan atas situasi dan kondisinya saat ini. Memang ada sedikit perasaan takut menghujani pikiran akan masa depan dia. Kini hanya ibunya yang mencari pekerjaan serabutan ditambah kerja sampingan Rumi dengan mengirim puisi-puisi dan tulisan di suratkabar syukurnya karena karya-karya dia sudah di kenal khlayak. Selain ia Beruntung mendapat beasiswa karena prestasinya yang bagus di bidang akademis.

Dan waktu yang ditunggu-tunggu pun datang, Rumi berhasil menamatkan kuliahnya. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu kedua orang tuanya agaknya akan terjadi. Tetapi sayang, satu hari menjelang wisuda, Bapak Rumi meninggal dunia. Bagai kiamat sudah datang, kesedihan menimpa Rumi. Dipeluknya ibu tercintanya dan mereka berdua menangis sewajarnya. Rumi dan Ibunya merelakan serta mengiklhaskan orang paling mereka cintai menghadap sang maha pemilik maha.

“Sayang bapaknya tidak bisa melihat anaknya memakai Toga wisuda” suara hati kecil ibunya pada waktu acara ritual wisudawan dilaksanakan, lagi-lagi air itu pun tanpa disadari menetesi wajah Ummul mukmininnya .

Kini, setelah Wisuda, ada tugas baru bagi Rumi. Dia harus bekerja untuk menghidupi dirinya dan ibunya yang sudah mulai tua. Beruntung, dia langsung diterima diperusahaan ternama. Dan lambat laun, kehidupan Rumi dan ibunya mulai normal kembali. Tetapi, ketika kehidupannya mulai normal, ibu Rumi pun menyusul bapaknya yang telah pergi. Rumi tak kuasa menahan kesedihan dirinya. Dia menangisi ibunya yang telah meninggal betapa sakit hatinya belum sempat membalas cinta kasih bapak ibunya mereka telah meninggalkanku.

Hari berlalu, dan kini Rumi pun sendiri. Sendiri sebagai seorang yang mandiri dan berkarir bagus dalam pekerjaannya. Dalam bekerja tidak lupa dia luangkan waktu sejenak untuk shalat lima waktu, sekaligus selalu mendoakan kedua orang tuanya yang bagaikan malaikat di dalap kehidupannya, agar diterima disisi-Nya.

Sekarang, Rumi sangat bahagia meski kedua orang tuanya telah meninggal. Bahagia menyaksikan anaknya sekarang, karena Orang tuanya layak mendapatkan surganya, terbebas dari penderitaan dunia. Surga atas jerih payah mendidiknya menjadi seorang manusia yang berguna bagi semesta alam. Sekarang masa depan telah menantinya.

0 comments: