Minggu, 09 November 2008

Karya Sastra dalam Membangun Moralitas Bangsa

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Sesuai dengan hakikatnya yang imajinatif dan estetis, sastra dengan sendirinya mengandung intensi pengarangnya. Intensi itu mungkin berupa pikiran dan perasaan, pandangan dan gagasannya, atau segenap pengalaman kejiwaannya. Aspek-aspek tersebut merupakan unsur pokok dalam karya sastra. Perpaduan aspek-aspek tersebut pada gilirannya membuat pembaca yang mampu memahaminya merasa senang dan dengan perasaan yang tidak mengenal jemu senantiasa menggaulinya. Bahkan, pada suatu ketika pembaca yang merasa terbius olehnya dengan seluruh keharuan yang dalam. Dengan kata lain, sifat-sifat karya sastra itu sendirilah yang menjadikannya dulce atau sweet 'menyenangkan'.

Penyair adalah penguasa kata-kata. "Tapi mereka tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur", kata penyair Taufiq Ismail, "mereka akan duduk santai, terbaring terpejam, membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan". Itulah agaknya yang dilakukan oleh penyair-penyair perempuan kita ini. Tidak semua penyair yang memberikan kontribusi hadir puisi dalam buku antologi tersebut hadir, tetapi agaknya kehadiran penyair dari Nagroe Aceh Darussalam, Sumbar, Makassar, Malang dan Jawa Tengah, agaknya cukup mewakili kawan-kawannya. Hampir semua perempuan penyair Riau tampil malam itu, sebut saja Murparsaulian, Hasnah Dumasari, Tien Marni, Herlelaningsih dan beberapa penyair muda yang berbakat seperti DM Ningsih

Pada sisi yang lain, pengalaman jiwa yang mampu menggugah keharuan pembaca itu pada dasarnya merupakan perpaduan pengalaman jiwa dengan sifat estetis karya. Dengan demikian, ia akan merupakan pengalaman yang besar dan agung, yang berisi pandangan hidup dan filsafat yang tinggi, yang dapat menimbulkan renungan-renungan moral. Pada gilirannya keagungan pengalaman jiwa itulah yang juga dapat memperkaya pengalaman jiwa serta mempertajam perasaan pembaca, sehingga karya sastra memenuhi fungsinya sebagai karya yang utile, useful, berguna bagi kehidupan manusia.

Dalam hubungannya dengan sejarah, Kuntowijoyo (1981) menyatakan adanya tiga fungsi sastra, yakni bahwa karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai fungsi sebagai cara pemahaman, cara komunikasi dan cara kreasi. Objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang disebut realitas Apabila realitas itu berupaya peristiwa historis, karya sastra dapat: (1).mencoba menerjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; (2).karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah; dan (3).seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarangnya.

Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol verbal itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarang. Sebagai cara pemahaman, misalnya, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih merupakan asumsi teoretik yang dalam pelaksanaannya sukar membedakan cara-cara itu dalam sebuah atau di antara karya-karya sastra. Kubah Ahmad Tohari, Bawuk Umar Kayam, atau Pariyem Linus merupakan sekadar contoh bagi karya-karya sastra yang mencoba mengangkat peristiwa sejarah sebagai bahan bakunya.

Di samping kategori-kategori dan rumusan-rumusan fungsi sastra bagi kehidupan di atas, masih terdapat sejumlah rumusan lain yang berbeda pula sudut pandangnya. Rumusan itu antara lain yang dikemukakan oleh Moody (1971) yang menyorotnya dari segi pendidikan, oleh Spegele (1974) yang menyorot dari segi sosial dan politik, dan oleh Teeuw (1982) yang mempertimbangkannya dalam kaitannya dengan norma sosial-budaya.

Ada keterkaitan khusus antara karya sastra dengan moral. Banyaknya karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral membuktikan hal tersebut. Mengapa? Karena dengan terkandungnya nilai-nilai moral dalam sebuah karya sastra maka pengarang dapat merefleksikan pandangan hidupnya melalui nilai-nilai kebenaran sehingga karya sastra tersebut dapat menawarkan pesan-pesan moral yang berkaitan dengan sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan tingkah laku para tokoh dalam sebuah karya sastra dapat membantu membentuk pribadi pembaca sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak menjadi lebih baik lagi. Inilah pesona karya sastra dalam pendidikan moral.

Nilai moral yang akan disampaikan pengarang menyatu dalam alur cerita. Dalam cerita itu pembaca akan bertemu dengan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai peristiwa. Dengan sendirinya pembaca akan memahami perilaku-perilaku yang baik dan perilaku yang buruk. Melalui alur cerita itulah pengarang memberikan petunjuk, nasihat, atau pesan akhlak, perbuatan susila, dan budi pekerti. Moralitas dipahami sebagai tindakan sukarela kita, yakni kesadaran hati kita akan kemanusiaan. Bertindak moral berarti bertindak untuk menolong, membantu semata-mata, bukan untuk mencapai tujuan tertentu atau tergerak oleh kecenderungan-kecenderungan emosional. Dengan demikian moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar, dipandang dari sudut baik dan buruk.

Kesimpulan

Kita bersyukur, kreatifitas kesenian di Sumatera Utara telah menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan, sehingga tidak perlu khawatir, andaipun ramalan Naisbitt seperti yang dilansir di atas menjadi kenyataan. Kita, dengan gemuruh perkembangan seni, yang saat ini berlangsung tidak hanya di Pekanbaru, tapi juga pada tingkat kabupaten dan kota, sudah memiliki kesiapan secara baik dalam hal penunjukan identitas. Namun demikian, tentu saja gerakan pencarian dan pemantapan harus terus dilakukan, sehingga seni tidak hanya selesai sebagai tanda atau identitas semata, tapi jika bisa, harus sampai pada tahap menjadi diri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad. Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai budaya yang mencerminkan kehidupan manusia pada waktu tertentu. Karya sastra merupakan khazanah ilmu pengetahuan dan budaya. Oleh karena itu, penghayatan terhadap karya sastra akan memberikan keseimbangan antara pemerolehan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dan pembangunan jiwa di pihak lain. Keselarasan keduanya sangat berperan dalam pembangunan manusia. Pertanggungjawaban moral dalam karya sastra adalah sebuah kritikan pengarang terhadap sikap dan sifat buruk seseorang atau masyarakat.

Seperti ungkapan Hang Tuah, “Esa Hilang Dua Terbilang, patah tumbuh hilang berganti,” generasi kepengarangan di bawah Suman HS dan Selasih Seleguri, bermunculan pula sejumlah pengarang terbilang dengan wilayah garapan masing-masing, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsudin, Hasan Yunus, Idrus Tintin dan lain-lain. Tapi generasi ini miskin penyair perempuan. Semoga ke depan semakin banyak perempuan-perempuan yang mengokohkan dirinya sebagai penguasa kata-kata, yang mengajarkan kepada kita tentang kearifan, kejujuran dan kecerdasan dari generasi ke generasi.(winsa)

0 comments: