Minggu, 09 November 2008

Cerpen Pujangga

“Ingin Kembali Pada-MU”

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Gemerlap Kota dan keindahannya menggelincirkan aku ke sebuah episode kenyataan yang kelabu, kadang aku jenuh dengan kehidupanku yang tidak menentu. kemaksiatan telah mendarah darah daging kedalam tulang-belulangku, berbagai kezaliman hampir aku selusuri liku-likunya dengan tiada keraguan.

Sesaat terkenang masa kanak-kanakku yang lugu, aku teramat pilu bila teringat Ayah-Bunda dan ketiga adik perempuanku di kampung halaman nan indah permai, asri dan agamais. Yang membuat seluruh jiwa luhurku ingin kembali ke pangkuan mereka.
Namun......

Siang berganti senja, senja pun menjelma menjadi malam. Kelap-kelip lampu ibukota mewarnai keelokan jalan raya, ingar-bingar kehidupan kota pun bersenandung merdu mencakar langit malam. Sebab kejahatan malam lebih menakutkan di bandingkan siang hari, Seperti biasa aku beroperasi di sela-sela kegiatan malam yang glamor, bola mataku berputar-putar laksana sang elang yang sedang mengintai mangsanya, Mencari korban. Menembus keremangan yang di iringi deru bus dan kendaran yang lalu-lalang bak sekawan semut yang merayap di pepohonan.

Muazin Masjid mengumandangkan adzan Isya saat mendengar muazin mengalunkan keakbaran illahi, jiwaku, kalbu, bahkan rohku hampir saja meninggalkan jasadku yang kurus kering ini. Jiwa-ragaku bagaikan teriris-iris dan berontak dengan tautan jiwa, ingin rasanya ku hamparkan kembali sajadah dan kopiah lalu membuka serta membaca lembaran ayat suci Al-Qur’an. Bersujud mengadab kiblat kembali ke shirot-MU yang kudus yang sekian lama terabaikan. Andai dulu aku tidak ke kota, andai dulu mendengar kata-kata Ibu. Beratus-ratus, bahkan beribu penyesalan menghampiri hati kecilku.

“Bang! Kalo ke Padang Bulan naik angkot yang mana ya..?”
Terdengar lembut dentingan suara yang menggugah lamunanku
“O, ya...!?! Dek mau kemana...???”

Tanyaku basa-basi naluri maksiatku muncul begitu saja. Mencoba mencari kelengahan perempuan itu, ntah! apa yang ada di dalam otakku. Tangan dengan gesit langsung meraih tas perempuan tersebut dengan begitu andal.

“Copet...!! Copet...!!! teriak histeris perempuan itu mengiring langkah seribuku menuju kerumunan bus-bus. Dalam hitungan detik aku sudah menghilang dibalik kegelapan dan sekali lagi aku lolos dari kejaran massa yang mengejar.

Dengan terengah aku selusuri gang gelap gulita sambil menenteng tas hasil rampasanku, sampai di tempat kosku, aku langsung berbaring. Setelah pikiranku melalang ke angkasa raya, memikirkan perempuan yang jadi santapanku hari ini. Seperti biasa setelah operasiku sukses pasti aku selalu mengalami gunjangan bathin, rasa menyesal, bersalah dan iba menghantui pikiranku, namun sayangnya perasaan suci tadi itu akan sirna perlahan-lahan bersama detik berganti detik dan aku pasti melakukan perbuatan bodoh itu lagi. Kembali pada lembah-lembah setan dan jurang-jurang gelap yang penuh kenistaan mencoreti liku-liku kehidupanku ini.

Malam semakin larut, gelap pun menyelimutui separuh bumi, angin sepoi-sepoi bersama nyanyian hening berbaur bersama keremangan malam. hujan pun tidak ingin absen malam ini untuk berdendang mengisi suasana malam yang syahdu. Aku teringat akan hasil rampasku, tanpa pikir dua kali kuobrak-abrik segala isi tas tersebut. Ada perhiasan emas, sebuah mukenah yang terbalut sajadah dan juga kitab suci Al-Qur’an yang menyelinap di tas.

“Aduuuh......!!!” jantung berdetak kencang sekali laksana badai-badai samudera biru, seperti halilintar yang menyayat langit-langit hitam. Menahan himpitan berjuta penyesalan yang semakin memenuhi relung jiwa. Aku telah menghalangi seorang hamba tuhan untuk beribadah betapa biadabnya aku ini, sejenak aku tertegun bak, gunung yang berada di antara lembah-lembah hantu. Imajinasiku melayang-layang ke dunia yang antah-berantah memikirkan nasib perempuan itu sekarang. Semua bekalnya telah kuambil dengan paksa darinya. Betapa tidak berguna hidupku, makan dari penderitaan orang lain.

Kumelangkah menuju lemari tempan penyimpanan tas itu. Tapi, tampak sebuah dompet warna orange tua terjatuh dari tas tersebut. Perlahan-lahan kubuka dompet itu, ada uang tunai, juga surat-surat penting menghiasi kisi-kisinya. Sampai mataku menatap sebuah foto kusam yang menyelip di antara uang recehan .

“Astaqfirullahaladzim.........,” berkali-kali tidak puluhan kali hampir beratus-ratus aku ucapkan dari bibirku. Aneh, tiba-tiba saja kalimat terucap. Tanganku gemeteran laksana ilalang-ilalang yang di hembuskan oleh sang angin menatap foto tersebut. Itu ibuku yang lebih kurang sepuluh tahun aku tinggalkan. Langsung kucari KTP yang ada di dalam dompet itu. Kubaca nama pemiliknya, tercatat nama Ilah Kirana.

“Ya, Allah, ampuni dosa-dosa hambamu yang hina dina ini,” terucap di dalam lubuk hatiku yang paling dalam sambil mengelengkan kepalaku penuh perasan bersalah yang tiada berbatas. Ilah Kirana itu adalah nama adik kandungku sendiri. Manusia macam apa aku ini ya... Allah, sama adiknya sendiri saja begitu tega merampas hak miliknya seharusnya aku menjaga dan melindunginya dari orang biadab seperti aku ini.

Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju terminal, berlari kesana-kemari, mencari adikku dengan menyisir koridor-koridor di terminal dan di antara tuna wisma yang tampak sedang menikmati mimpi-mimpi indahnya. Berharap-harap cemas, satu persatu aku amati baik-baik wajah mereka. Namun sayang seribukali sayang tidak jua aku temukan si Kirana adikku. Sampai saat aku melewati sebuah pos Polisi, tampak gadis muda berjilbab yang sedang terpejam matanya, aku berpikir mungkin adikku ada di pos Polisi itu. Ya.... karena bekalnya tadi sudah habis aku rampas semuanya.

Ternyata hipotesisku benar, gadis itu Kirana adikku perempuanku. Belum sempat kubangunkan, ia terlebih dahulu terjaga dan menatapku tajam sambil berteriak.
“Copet! Copet! Copet! Itu pak pencopetnya”

Langsung mengambil langkah seribu alias kabur yang dengan diikuti suara tembakan.
“Dor.......!!! Dor.......!!! Dor................!!!” berkali-kali tembakan terdengar.
Tanpa terasa salah satu kakiku tak dapat kugerakan. Karena timah panas telah menembus kaki kiriku. Aku tersungkur dan roboh seperti seekor rusa yang terkena tembakan sang pemburu dan langsung dibawa ke pos Polisi.
“Hey... kamu yang mencopet gadis ini, ya,” pak polisi itu bertanya sambil menatapku sinis.

“Ya ... pak” jawabku sambil memegang kaki kiriku yang tertembak tadi dengan menahan rasa sakit.
“Ini pak tasnya saya kembalikan tapi mohon saya ingin ketemu gadis itu” ucapku lirih.

Saat dipertemukan dengan adikku, aku terasa tidak kuat lagi menahan beban yang kurasakan selama ini. Rasa bersalah pada Ibu, Ayah dan juga adik-adikku yang telah lama kutinggalkan. Dia menatap wajah masih dengan tajam.
“Kirana....” kusebut namanya dengan jutaan kasih sayang yang tertimbun nun jauh di sana, ia pun kaget.

“lho...anda kok kenal dengan saya” sahutnya dengan rasa keheranan.
“Aku Agus, dik!!!” aku berucap sambil menundukan penuh rasa malu, adikku mungkin sudah tak mengenali aku kini yang berjambang lebat dan ada tato yang terlukis di sekujur tubuhku.

Kirana hanya bisa menangis, aku tidak tau dia menangis bahagia atau menangis benci kepadaku. Sekejap kemudian.....
“Kak!!! Ibu sedih memikirkanmu, aku ke kota disuruh mencari kakak. Ayo kita pulang kak kasihan Ibu!,”

Ucapan Kirana dengan diiringi isak tangis yang terus membanjiri pipihnya.
“Aku hanya titip salam pada Ibu, Ayah dan Adik-adik” Tak terasa dunia seraya berputar-putar dan terasa gelap seluruh isi pandanganku.

Saat bangun, sudah aku dapati aku terkapar di atas ranjang rumah sakit dengan tangan terborgol. Tampak perempuan tua dengan isak tangis mengisi daun telingaku ternyata Ibuku yang sudah dari tadi berada di sebelah jasad hinaku. Inginku bersimpuh mencium kakinya mohon ampun karena Ibu adalah tuhan yang nyata di dunia, namun apa daya aku tidak mampu.

“Ya...Rabb, pemilik maha segala maha, ini jalan hidupku yang harus aku tempuh. Di antara aku ada buah cinta-kasih yang agung se-Agung ayat-ayat-Mu yaitu yang berwujud Ibu, Ayah juga adikku, perkenankan seorang hamba yang hina dina ini untuk kembali ke shirot-Mu yang penuh kasih sayang tiada tara.....”

0 comments: