Minggu, 09 November 2008

Cerpen pujangga

Kartini Oh... Kartini

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Taksi berwarna hijau mendekati mulut gang yang menuju ke rumah kontrakannya, memang bukan taksi langganannya karena beberapa minggu ini selalu pulang subuh, taksi langanannya tidak narik sampai sepagi itu karena alasan keluarga dan kesehatan.

“Stop!!! Stop!!! Stop!!! di sini saja, Mas !??”

“Lho, kok tidak sampai ke depan rumah, neng??” tanya supir taksi dengan gelagat penuh hasrat.

“Lihat, dong! pukul berapa sekarang!!! Suara taksi ini kayaknya motor boat ini akan mengganggu tidur orang-orang, tahu?!? Bisa-bisa mas nanti digebuki orang se-RT baru tau!??”

“Ah.., neng!? bisa aja!?” kata supir taksi tersebut, dengan nada menggoda dan sambil memain-mainkan rem, menyebabkan Kartini terguncang-guncang dengan maksud hati mencari kesempatan dan sedikit iseng.

“Hey, hati-hati Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, ya???” kata Kartini sewot, sambil mata teduhnya melotot seperti srigala betina.

“Kan yang sempit-sempit itu justru katanya asyik, neng!?” sahut supir sambil cengengesan dan mencolek-colek pinggang seksi Kartini.

“Sialan kamu!!! Dasar supir taksi idiot...!? Keluar dari taksi sambil membanting pintunya.

Detik demi detik berlalu mendekati ba’da subuh, ketika Kartini mulai menjejaki lorong yang menuju rumah kontrakannya itu, beberapa ratus meter. Lampu mercuri seratus watt menerangi Sepanjang gang itu, membuatnya nampak terang benderang. Tetapi di sekeliling terlihat sunyi senyap seperti di areal pemakaman cina, sehingga suara sepatu Kartini terdengar jelas berketepok ketika menyentuh betonan gang mirip suara ladam.

Para warga pasti sudah terbuai mimpi-mimpi indah dan ternyenyak oleh suasana subuh hari yang sangat sejuk. Hanya di warung rokok Mas Agus terus terlihat geliat kesibukan karena ia satu-satunya warung yang buka 24 jam di kawasan ini. Sementara dari mesjid, mushalla ataupun langgar, sayup-sayup azand terdengar bersahut-sahutan mengisi seantero angkasaraya. Sertamerta rasa ngantuk mulai menghampiri kedua kelopak matanya yang sendu, betapa lelah dan mengantuknya dia. Perasaan yang tadi-tadi berhasil dibendung dan dapat diatasinya, karena tentunya bukan sikap yang bertanggung jawab dan profesional, ia tidak mau nampak lelah dan mengantuk di hadapan pelanggan yang harus di-service-nya sepuasnya.

Apalagi kalau pelanggan itu adalah seseorang yang istimewa, seperti Teuku Ryan itu. Dan dengan begitu saja, sebuah senyum samar-samar muncul di bibir Kartini. Dia tepuk tas yang tergantung di bahunya. Serasa-rasa dapat disentuhnya uang sejuta rupiah yang ada di dalam tas itu. Limaratus ribu adalah imbalan jasa pelayanannya plus poding yang dia dapat dari Teuku Ryan. Dia memang sangat memerlukan uang itu.

Rembang petang itu. Ketika dia siap berangkat ke karaoke tempatnya biasa mangkal Wiwin, puteri tunggalnya, bilang dengan suara seperti merajuk.

Ma!! Wiwin kan sudah harus bayar biaya study tour yang ke Penang itu. Temen-temen yang sudah pada bayar semua. Wiwin kapan, Ma? Jangan-jangan nanti-nanti, telat lagi, Ma!?. Wiwin jadinya tidak bisa ikut, dong!! Kalau gitu, gimana, Ma! Wiwin kan jadi malu sama temen-temen di sekolah..............................

Sejenak ia terpaku seperti gunung-gunung di tangah malam. problemnya, ia memang belum dapat memperkirakan, kapankah kebutuhan Wiwin itu dapat dipenuhinya kerena ia harus memenuhi kebutuhan anak perempuan satu-satunya itu seorang diri di mana ayah dari putrinya menghilang tanpa bekas alias kabur dan kawin lagi dengan perempuan lain.

Satu juta bukanlah jumlah yang kecil. Secara matematis, itu berarti paling sedikit dua kali kencan dalam semalam, dua kali memberi pelayanan kepada pelanggan. Tetapi, betapa pun juga, dia amat menyayangi Wiwin. Puterinya yang sedang duduk di kelas satu SMA yang ternama di kota Medan. Dia adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga dalam hidupnya ini. Dia selalu siap melakukan apa saja demi anaknya itu. Apa pun rela dia korbankan asalkan anaknya tetap bersekolah. Agar tidak mengikuti jejaknya sebagai kupu-kupu malam kelak.......

Dan itu sudah dia lakukan sejak dia mengandung Wiwin, akibat kecelakaan Dengan seorang pria yang tidak bertanggung jawab ya.. habis manis sepah di buang. Sampai kemudian Wiwin lahir dan langsung harus dihidupinya secara mandiri dan nenek wiwin tidak mau mengakui wiwin itu cucunya katanya anak haram. Dan ia dikucilkan oleh keluarga besarnya. Bukan kepalang beratnya perjuangan yang harus dia hadapi. Seorang perempuan memang bisa dapat menjadi seorang Ibu dan Bapak tetapi belum tentu seorang laki-laki bisa merangkap keduanya.

Seandainya hidup bisa memilih. Apalah daya dan upaya bagi seorang Kartini, yang dapat ia lakukan dari seorang perempuan yang tidak memiliki bekal ilmu pengetahuan selain “menjual dirinya”. Demi Wiwin ia rela mengorbankan segalanya. Seperti sekarang ini, ia mendamparkan diri ke lingkungan kehidupan karaoke, menjadi wanita penghibur plus kupu-kupu malam.

“Jangan pesimis begitu, dong!!! Sayang...! Mama akan usahakan, ya Malam ini juga. Mudah-mudahan berhasil. Dan besok kamu sudah bisa bayar biaya study tour kamu itu. Oke!!??” sambil mencium anak kesayanganya itu dengan penuh harapan dan cinta kasih.

Detik itu juga, segera terbayang di mata bathinnya wajah Teuku Ryan. Sudah tiga tahun ini dia mengenal laki-laki itu dan berhasil menjadikannya sebagai pelanggan tetap. Dan itu sangat berarti bagi kehidupan ekonomi rumah tangga ini.

Teuku Ryan itu seorang pengusaha biro perjalanan. termasuk menyelenggarakan perjalanan haji dan umrah di Medan dan di Banda Aceh yang sukses dan tidak terlalu panjang pertimbangan terhadap uang yang dikeluarkannya. Usianya pasti sudah lewat setengah abad, tetapi penampilannya masih tetap gagah dan menawan, sangat macho mMMh... Dan potensinya sebagai laki-laki, masih jauh di atas kebanyakan laki-laki yang pernah diladeni Kartini. Perlakuan Teuku Ryan terhadap dirinya pun sangat berbeda. Beliau sangat romantis dan penuh gairah serta sangat menawan kelelakian seseorang.

Kalau para pelanggannya yang lain cuma menganggap dirinya semata-mata sebagai obyek pelampiasan nafsu gila belaka, tidak demikian halnya dengan Teuku Ryan. Perlakuannya begitu lembut, begitu santun. Kadangkala bahkan bagai perlakuan seorang laki-laki terhadap kekasih tercinta. Mungkin karena, Kamu selalu mengingatkan aku pada kekasihku yang pertama. Kamu hampir-hampir bagai kembaran dari dirinya. Bibirmu yang sensual, matamu yang liar menantang, profil wajahmu yang Jawani, sungguh, semua merupakan bagian dari dirinya.

Kamu tahu, setiap aku menikmati kebersamaan denganmu, aku selalu merasa berada lagi pada masa laluku. Sayang, semuanya harus berakhir dalam kenyataan yang pahit. Keluarganya tidak merestui, dengan alasan yang sampai sekarang pun tak pernah kuketahui. Hubungan kami diputuskan dengan paksa. Dia dikawinkan dengan orang lain, walau dalam rahimnya sudah kusemaikan bibitku. Rencana kami, ini akan kami jadikan senjata untuk melakukan fait accompli. Ternyata gagal. Semua berantakan. Dan diakhiri dengan tragedi. Belum seminggu usia kawin paksa itu, mayat kekasihku itu ditemukan mengambang di kali sungai deli.

Pernah sekali waktu Kartini membiarkan dirinya berangan-angan, bagaimana kalau tiba-tiba Teuku Ryan mengajaknya kawin. Serasa-rasa dia mendengar laki-laki itu berkata? Aku selalu merasa kesepian, Empat anakku sudah mandiri, sudah membina rumah tangga dengan keluarganya masing-masing. Hanya aku dan isteriku yang tinggal di rumah sebesar itu. Dan kamu tahu, isteriku sudah tua, sudah lama dia memasuki masa menopause. Lebih dari itu, tubuhnya kemayuh, karena pernah mendapat serangan stroke. Bagiku, sebagai laki-laki, isteriku itu sebetulnya sudah tidak punya guna lagi.

Aku masih membutuhkan perempuan yang potensial, yang masih segar, yang masih menggebu-gebu. Seperti kamu… Kartini. Karena itu, maukah kamu kawin denganku? Tolonglah, ni panggilan kesayangannya, bebaskan aku dari siksaan kesepian lahir batin ini. Namun Kartini akhirnya hanya bisa menertawakan dirinya sendiri secara habis-habisan karena angan-angannya itu. Walau memang benar isteri Teuku Ryan sudah tua dan lumpuh dan anak-anaknya sudah mandiri semua, tetapi jelas dia belum cukup gila untuk meminta Kartini kawin dengannya.

Kedudukan sosial Teuku Ryan yang begitu tinggi dan terhormat di kalangan masyarakat Aceh, ia dari golongan bangsawan. pasti nama baik keluarga dan leluhurnya akan tercemar, kalau dia sampai nekat mengawini perempuan semacam Kartini, seorang perempuan sewaan di karaoke, yang hidup dari pelukan lelaki hidung belang. Kartini sudah merasa cukup memadai, karena hubungannya dengan Teuku Ryan makin bersifat pribadi. Tidak sekadar hubungan antara seorang pelanggan dengan langganannya semata. Banyak masalah yang dihadapinya, terutama yang berkenaan dengan masalah keuangan, dapat terpecahkan atau terselesaikan, berkat uluran tangan Teuku Ryan. Ia seperti malaikat yang turun dari langit bagi keluarga kami.

Seperti halnya biaya study tour Wiwin itu. Dengan terus terang, dia kemukakan soal itu kepada Teuku Ryan, terutama kemungkinan gagalnya Wiwin ikut serta, kalau tidak segera membayar. Laki-laki paroh baya itu hanya mengangguk-angguk, tanda maklum. Lalu disodorkanya uang yang satu juta limaratus ribu itu.

“Pakailah ini!?” Tak disebut-sebutnya sama sekali, kapan uang itu harus dikembalikan. Tak terbendung begitu besarnya rasa syukur Kartini menerima uang tersebut dengan membayangkan wajah nerseri putri satu-satunya wiwin.

Malam ini Tuhan telah melimpahkan Rahman dan Rahim-Nya kepada seorang makhluk pendosa semacam dirinya ini. Sambil melangkah terus di gang berbeton itu, berkali-kali Kartini menyentuh tasnya. Seperti kurang yakin dia, kalau tas itu masih tetap tersandang di bahunya. Dia bayangkan, betapa akan senangnya Wiwin nanti. Puterinya itu tak perlu lagi mencemaskan kegagalan perjalanannya bersama teman-temannya yang lain. Tetapi tiba-tiba Kartini terperangah.

Sekira Pukul 4:30 WIB pada malam akihr cerita berikutnya........
Di depan rumah kontrakannya, dia melihat kerumunan orang. Seketika itu juga dia mempercepat langkah, malah setengah berlari.

“Ada apa ini?!? Ada apa?!??” Rasa bingung bercampur was-was ada apa gerangan yang terjadi di rumahnya?

serunya panik, seraya berusaha menembus kerumunan itu. Orang-orang memang memberinya jalan, hingga dia segera dapat memasuki rumahnya. Dan di ruang tamu, dia tertegun panjang menatap sekeliling ruangan. Di situ sudah ada Ketua RT, Nazir Masjid dan beberapa orang Hansip. Dan di sofa itu, ya, Tuhan, duduklah Wiwin. Anak itu hanya berpakaian sekadar menutupi tubuh. Dan di sisinya, cuma berpakaian celana dalam, duduklah Budi, cowok tajir yang kuliah di Universitas ternama di Medan. Tentang Budi ini, Wiwin pernah cerita banyak tentang anak muda itu, Dia anak orang yang kaya, bapaknya seorang anggota DPR. Mobilnya lima, 3 kijang dan dua lagi BMW di garasinya yang rumahnya seperti istana kerajaan dan di jaga 3 orang security ditambah 2 anjing penjaga. Ya hasil korupsilah....

Nanar Kartini menatapi orang-orang yang hadir di ruang tamunya itu. Ketua RT membalas tatapannya dengan pandangan mengandung rasa kasihan dan penuh iba. Nazir Masjid, yang selama ini memang tak pernah merasa perlu mengenalnya, tersenyum miring bercampur sinis seperti mencium bangkai tikus. Dan para Hansip itu, jelas mereka nampak salah tingkah dan sedikit kikuk karena Kartini sering sekali beri tips kepada mereka, kalau kebetulan kepergok saat dia pulang mencari nafkah.

“Bu Kartini dapat membayangkan sendiri, apa yang kira-kira sudah terjadi malam ini di rumah ibu” Terdengar suara Ketua RT, tidak dengan tekanan darah militer, tetapi nada kecewa namun begitu sangat wibawa dan nada teratur.

“ini merupakan akumulasi dari banyak kejadian sebelumnya. Sebegitu jauh, warga sebetulnya mencoba tidak usil. Kami menganggap, Wiwin semata-mata korban dari contoh yang tidak baik. Tidak adil kalau dia saja yang harus menerima akibatnya”. Cetus beberepa warga dari balik tubuh ketua RT

“Selama kami hanya membiarkan. Tetapi, malam ini, mereka sudah melakukan sesuatu perbutan itu. Dan itu tidak bisa didiamkan lagi. Mereka harus ditindak?” beberapa warga menambahkan komentarnya. Bertubi-tubi.

“Memang, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya” selinting warga yang tidak suka terhadap mereka, tidak lain dan tidak bukan orang-orang sok suci yang turun dari nereka yaitu penggosip-penggosip kelas kakap yang senang berceramah di warung-warung seperti beo-beonya fir’aun.

Tetapi Kartini tidak menhiraukan ocehan tersebut, ia hanya menatap Wiwin dengan pandangan kosong. Anak itu bangkit dari duduknya, lalu menubruk tubuh Kartini dan memeluknya erat-erat. Terdengar suara tangisnya yang lirih, tetapi sarat dengan tekanan duka. kegalauan yang temat dalam dikalbu Kartini seperti gemuruh di siang bolong yang menyayat-nyayat langit. Betapa tidak, ia bekerja keras untuk anaknya satu-satunya tersebut agar tidak mengikuti jejak kotornya malah anaknya menambah aib di tempat mereka berteduh dari panas dan hujan, Perlahan-lahan dia kehilangan penguasaan atas dirinya. Perlahan-lahan tubuhnya terkulai lemas ke lantai tak sadarkan diri tidak lagi mampu menahan beban yang ia pikul selama ini. Kerja kerasnya selama ini bukan sia-sia saja malah mendapat malu.

Ma!!.. Ma!!! diiringi tangisan wiwin yang terhalang menikmati syurga dunia bersama budi sang kekasihnya itu karena kepergok oleh warga. Terus memanggil-manggil ibunya yang pingsan dalam kekecewaan hidup.

Satu demi satu warga RT tersebut meninggalkan mereka dalam suasana yang tidak dapat dilukiskan oleh manapun.

“Kartini Oh.. Kartini, mbok ambe anake podo wae, piye iku??? Jenenge wae Kartini kayak jeneng pejuang zaman londo tapi lakoni ora..... dasar edan-edan...!!!!!”

bisik ibu-ibu yang tengah menyaksikan dagelan hidup yang begitu sulit dimengerti oleh insan tuhan yang menjalaninya. Ada yang menghujat, menghina dan ada yang iba melihat dua orang perempuan antara anak dan ibu yang sedang melakoni kenyataan hidup yang penuh teka-teki.

0 comments: