Rabu, 19 November 2008

Batak dan Budaya Malu

MHD DARWINSYAH PURBA

Ada yang bertanya: Apakah Batak memilki budaya malu? Sampai sejauh mana budaya malu itu? Jika mayoritas Batak adalah Kristen, bagaimana pastoralnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya rasa kita harus membedakan dulu antara konsep “budaya malu” dan konsep “malu”. Budaya malu itu adalah sebuah konsep baru dalam bahasa Indonesia. Ia dikembangkan pada masa pemerintahan seorang Raja Jawa bernama Suharto, yang memerintah Indonesia dari 1965–1988. Boleh jadi konsep ini memang berasal dari budaya feodal Jawa.

Untuk mengeliminir praktek-praktek korupsi di kalangan pejabat dan rakyatnya Suharto memperkenalkan budaya malu sebagai “self-controlled”. Sebenarnya banyak budayawan (antara lain Mochtar Lubis–orang Batak) yang menentang konsep budaya malu ini. Konsep ini tidak memiliki dasar moral yang kokoh. Seseorang diajar untuk tidak korupsi, bukan dikarenakan korupsi itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan perintah Tuhan atau suara hati nurani, tapi karena korupsi adalah suatu hal yang ditertawakan oleh orang banyak. Korupsi boleh dilakukan asal jangan ketahuan, karena akan memalukan.

Implikasi lebih jauh dari konsep ini ialah, orang tetap korupsi tapi berusaha untuk menutup-nutupi perbuatannya. Sementara itu, karena orang yang melakukan korupsi semakin banyak saja, dan semua saling tutup-menutupi, maka pemahaman bahwa korupsi adalah sebuah perbuatan yang memalukan, pun semakin pudar. Korupsi menjadi hal yang biasa-biasa saja dan tidak memalukan lagi. Puncaknya adalah apa yang terjadi dalam minggu-minggu terakhir ini: Suharto yang mempopulerkan konsep budaya malu itu hanya senyum-senyum saja ketika oleh sebuah badan PBB ia “dinobatkan” sebagai kepala negara yang mencuri uang paling banyak. (Dan oleh Mahkamah Agung RI, nama baiknya oleh majalah Times juga telah “dicemarkan” sebagai koruptor besar-dipulihkan dengan ganti-rugi sebesar 1,5 triliun rupiah!).

Sebagai akibat persentuhan dengan budaya feodal Jawa itu, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kini banyak juga orang Batak yang menganut konsep budaya malu, atau konsep mendasarkan tindakan lebih pada pertimbangan apakah nantinya dia akan dihina atau ditertawakan orang. Dan ukuran akan hal-hal apa saja yang akan dihina atau ditertawakan
orang itu pun menjadi sama dengan yang dipahami oleh budaya feodal Jawa, dan yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi budaya Indonesia.

Malu itu adalah kesepakatan. Dengan lain perkataan, hal-hal apa saja yang akan dihina atau ditertawakan oleh orang banyak, berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Bahkan di suatu masyarakat yang sama pun, disebabkan oleh perbedaan jaman, hal-hal apa saja yang dihina atau ditertawakan oleh orang banyak bisa berubah.

Bagi beberapa sub-etnis Papua, berseliweran kesana-kemari hanya dengan memakai koteka sebagai penutup penis tentu bukalah hal yang memalukan. Tapi bagi orang-orang Jawa yang tinggal di keraton hal yang demikian tentu sesuatu yang sangat memalukan. Bagi orang Batak menandaskan teh atau juadah yang dihidangkan oleh tuan rumah bukanlah hal yang memalukan. (Itu justeru merupakan penghormatan). Tapi bagi orang Jawa atau Sunda hal itu tentu adalah sesuatu yang memalukan.

Dahulu bagi orang Batak melacur adalah sesuatu hal yang memalukan. Tapi kini sudah banyak pelacur yang berasal dari etnis Batak.Dahulu bagi orang Batak menyemayamkan jenazah orang tua di rumah duka adalah sesuatu yang memalukan. Tapi kini disebabkan oleh situasi dan kondisi hidup di kota besar, hal itu bukanlah sesuatu yang memalukan lagi.

Sebagaimana halnya masyarakat dan budaya lain yang ada di muka bumi ini, maka orang Batak juga tentu mengenal konsep malu (maila). Tapi budaya malu, sebagaimana yang telah diterangkan di atas, bukanlah konsep Batak in the first place.

Pada dasarnya orang Batak memiliki karakter yang suka berterus-terang dan apa adanya. Agak aneh juga kalau orang yang memiliki karakter seperti ini mendasarkan suatu tindakan lebih banyak atas penilaian orang lain (dihina atau ditertawakan) . Pada orang yang memiliki karakter berterus terang dan apa adanya, suatu tindakan seyogianyalah lebih didasarkan kepada apakah hal itu menyenangkan hati sendiri, atau apakah hal itu sejalan dengan pertimbangan moral yang dimiliki. Tapi sebagaimana yang telah diterangkan di atas, budaya Batak pun telah terkontaminasi dengan budaya malu.

Orang Batak perlu kembali ke akar budaya dan imannya. Orang Batak perlu mereformasi konsep budaya malu, bahkan konsep malu itu sendiri: Kalau seorang Batak tidak mencuri, tida kmelakukan pelecehan seksual, rajin pergi ke gereja, tidak berjudi dsb maka seyogianya itu bukanlah karena dilandasi oleh ketakutan akan malu kalau ketahuan orang, tapi lebih karena tindakan itu akan

0 comments: