Sabtu, 08 November 2008

Istana Maimoon Dibalik Sejarah dan Legenda

Sunday, 22 June 2008

WASPADA ONLINE

Oleh Mhd Darwinsyah Purba

ISTANA Maimoon merupakan salah satu bangunan bersejarah dan penuh warna-warni estetika sejarah di kota Medan, arsitekturnya merupakan perpaduan tiga gaya, yakni gaya Eropa abad pertengahan, pola India Islam (Moghul) dan Melayu. Berada di tengah-tengah kota, warna khas Melayu itu kuning mencolok. Tetapi warna istana Maimoon terkesan tidak demikian. Begitu mendekatinya warna hijau pudar dan krem. Terkesan sangat elegan sekali.

Istana Maimoon didirikan pada 26 Agustus 1888 oleh Sultan Kerajaan Deli, Sultan Makmun Ar-Rasyid Perkasa Alamsyah. Arsiteknya orang Belanda, Kapten TH. Van Erp dari Zeni Angkatan Darat KNIL. Butuh satu juta Golden. Istana ini mu-lai ditempati sejak 18 Mei 1891 tepatnya di Jalan Brigjen Katamso No. 55. Letak geografisnya persis dekat sungai Deli yang sering membanjiri kawasan Multatuli.

Dari istana kesultanan inilah Raja Deli memerintah Kota Medan menapak tumbuh berkembang. Di mana berdirinya kota Medan sebagaimana menyingkat catatan dalam Hikayat Deli, besar bersama seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik yang berhasil menjadi Laksamana dalam kesultanan Aceh. Sebagai pembantu terpercaya sultan, Dalik berikutnya mendapat tugas memerintah wilayah bekas Kerajaan Aru dengan pusatnya di daerah Lalang-Percut. Pada tahun 1669 Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan mengumumkan memisahkan kerajaan dari Aceh dan mulai merintis Kesultanan Deli atau kota Medan.

Tiba di pelataran istana Maimoon, rasanya lega sekali. Panas dan sesaknya kota Medan berubah menjadi lapang. Halamannya luas seperti tanah lapang. Hamparan rumputnya menghijau dihiasi taman bunga yang selalu dipakai oleh anak-anak dan orang dewasa untuk bermain sepakbola setiap sore. Pohon palem dan cemara sejukan pandangan mata menambah pesona indahnya bangunan ini. Ada juga pondokpondok kecil tempat menyimpan situs sejarah keluarga-keluarga kerajaan Istana Maimoon di pelataran istana.

Untuk memasuki ruangan dalam istana Maimoon yang bertingkat dua setinggi 14,40 meter ini, penulis harus menapaki 28 anak tangga berundak yang semua terdiri dari marmer asli dari Itali. Warnanya larik-larik hitam dan putih kelabu yang mengkilap. Hampir keseluruhan lantainya dari marmer. Dinding dan atapnya dihiasi ornamen perpaduan Melayu dan Timur Tengah. Kaca jendelanya didatangkan khusus dari Eropa. Perabotannya juga berasal dari luar negeri terutama Belanda. Tiang penopang bangunan istana terdiri dari 82 tiang berbentuk segi delapan dan 43 tiang kayu dengan lengkungan-lengkungan yang berbentuk lunas terbalik dan ladam kuda. Sedang atap bangunannya berbentuk limas dan kubah. Bentuk limas terdapat pada bangunan induk, sayap kanan dan sayap kiri yang terbuat dari bahan sirap dan tembaga.

Memasuki balaiurang (ruang tamu) setiap pengunjung dikenakan tiket masuk sebesar Rp2500. Di dalam balaiurang ada singgasana yang seluruhannya berwarna kuning menyala. Diterangi temaram sinar lampu-lampu kristal yang antik. Singgasana atau pelaminan itu memiliki empat undakan bagian kiri terdapat gebuk (wadah) yang terbuat dari kuningan tempat air membasuh tangan atau kaki raja) sebanyak lima buah. Sedangkan dibagian kanan terdapat lima buah tempat lilin. Pada kedua sisi dibagian belakang terdapat puan (tempat bunga dari sirih) yang terbuat dari logam berwarna kuning.

Di depan pelaminan itu terdapat kursi merah sepanjang 2,5 meter. Masing-masing menepi pada dinding kanan dan kiri balaiurang itu. Pada dindingnya terdapat hiasan dari cat minyak motif dan geometris ada yang distilir dan ada pula yang naturalis. Begitu pula dengan plafonnya terdapat motif hiasan yang sama namun ditempatkan pada bidang segiempat dan sigidelapan. Lukisan pada plafon didominasi warna merah dengan menempatkan motif floralistik di bagian tengahnya. Pintu-pintu yang lebar dan tinggi dengan lengkungan setengah bola di bagian atasnya meniru gaya arsitektur Belanda.

Rupanya di masa itu dokumentasi untuk mengabadikan keberadaan raja dan keluarganya sesuatu yang nampaknya sudah penting. Hal ini terlihat dari beberapa foto sultan Deli yang dipajangkan di dinding balaiurang. Terpajang di antaranya foto Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah, Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah, Sultan Amaludin Perkasa Sani Alamsyah dan Sultan Osman Alsani Perkasa Alam. Ada pula foto beberapa permaisuri dan raja-raja.

Memasuki ruang yang lebih jauh kedalam, terdapat dua buah ruangan di bagian kanan dan kiri. Ruangan yang kini digunakan untuk souvenir itu dulunya ditempat dayang untuk menyiapkan dan melayani makanan. Di bagian belakang yang berhubungan dengan ruangan itu adalah tempat raja dan keluarga bersantap. Di ruangan yang memiliki jendela bisa dibuka lebar-lebar pada bagian kanan dan kirinya itu, terdapat tahta Sultan dan permaisuri.

Ruang seluas 94 meter bujur sangkar itu selain untuk bersantap juga digunakan bila ada acara pernikahan keluarga raja. Kursi raja yang masih nampak seperti aslinya diapit dua lemari hias buatan Eropa dan dua meja toilet. Di ata slemari hias kini bertengkar beberapa mushab Al-Qur’an. Biasanya memang raja membaca Al-Qur’an di sana lalu menyimpannya di rak-rak terbuka dari lemari hias itu.

Pola arsitektur Belanda dengan pintu serta jendela yang lebar dan tinggi, serta pintu-pintu bergaya Spanyol menjadi bagian dari istana Maimoon. Pengaruh Belanda juga kentara sekali pada prasasti marmer di depan tangga pualam yang ditulis dengan haruf latin berbahasa Belanda. Sedang pengaruh arsitektur Islam kelihatan pada bentuk lengkungan atau arcade pada sejumlah bagian atap istana. Lengkungan yang berbentuk perahu terbalik itu dikenal dengan lengkungan Persia, banyak dijumpai pada bangunan di kawasan Timur Tengah, Turki dan India. Sedangkan pada gang beratap dibangun dengan gaya lengkungan berbentuk ladam kuda biasa disebut lengkungan asli, ciri khas kesenian Gothic yang merupakan embrio bangunan Islam di era kemudian.

Begitu juga ukirannya. Ukiran Melayu tradisional terlihat pada gambar Tringgalum, pinggiran atas lesplank dengan bentuk pucuk rubung yang terkenal: dinding sebelah atasnya dengan bentuk Awan Boyan, langit-langit dan kubisme gaya India Islam. Pada tahta terlihat ukiran foliage dan bunga corak ukiran Melayu “Bunga Tembakau”, ukiran atas depan Awan Boyan, samping atas bulatan bunga matahari.

Secara keseluruhan, istana Maimoon terbagi menjadi tiga bagian terdiri dari bangunan induk, sayap kiri dan sayap kanan. Jumlah kamarnya ada 40: 20 kamar di lantai atas tempat singgasana sultan dan 20 kamar mandi, gudang, dapur dan penjara di lantai bawah. Sedang kerabat raja hingga kini ada sekitar 20 kepala keluarga. Waktu mengunjungi istana Maimoon kebetulan pada jam kerja. Sehingga keadaan istana sepi. Keluarga istana sedang kerja, kecuali Tengku Burhan penjual tiket masuknya yang berusia sekitar 50 tahunan.

Ada sepenggal peninggalan sejarah yang menarik di sebuah rumah di samping istana. Barang kuno itu berupa potongan meriam puntung milik Putri Hijau. Di tempat meriam ini, pengunjung umumnya merogoh koceknya lagi untuk menyumbang keluarga istana. Sebagian uang yang diperoleh dari lokasi meriam digunakan untuk belanja bunga, yang nantinya diletakkan di atas meriam setelah dilengkapi dengan kemenyan. Bunga ini setiap hari harus diganti-Red. Apabila anda berkunjung ke kota Medan jadi tidak lengkap kunjungan anda tidak mengunjungi Istana Maimoon tersebut dan anda pasti terpukau dengan situs sejarah yang melekat pada setiap konsep bangunannya yang penuh sejarah masa lalu....

Sejarah
Dalam buku Riwayat Hamparan Perak yang ditulis oleh Tengku Lukman Sinar, diceritakan bahwa istani ini dibangun pada 28 Agustus 1888 dan dijadikan pusat administrasi kesultanan sampai akhir Perang Dunia II. Keberadaan istana ini tidak terpisahkan dari sejarah kota Medan itu sendiri. Karena sejak pihak kesultanan memindahkan semua kegiatan administrasi ke istana ini, Medan yang semula hanyalah sebuah kampung kecil, menjadi semakin ramai.

John Anderson, seorang pegawaiPemerintah Inggris yang berkedudukan di Penang, bernah berkunjung ke Medan tahun 1823. Dalam bukunya bernama “Mission to the Eastcoast of Sumatera”, edisi Edinburg tahun 1826, Medan masih merupakan satu kampong kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang. Di pinggir sungai sampai ke tembok Masjid kampong Medan, ada dilihatnya susunan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar yang menurut dugaannya berasal dari Candi Hindu di Jakarta.

Legenda Putri Hijau
Menurut legenda, dahulu di Kesultanan Deli Lama, sekira 10 km dari Medan, hidup seorang putri cantik bernama Putri Hijau. Kecantikan sang putri ini tersebar sampai telinga Sultan Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa. Sang pangeran jatuh hati dan ingin melamar sang putri. Sayang, lamarannya ditolak oleh kedua saudara Putri Hijau, yakni Mambang Yazid dan Mambang Khayali. Penolakan itu menimbulkan kemarahan Sultan Aceh.

Maka, lahirlah perang antara Kesultanan Aceh dan Deli. Konon, saat perang itu seorang saudara Putri Hijau menjelma menjadi ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang terus menembaki tentara Aceh. Sisa “pecahan” meriam itu hingga saat ini ada di tiga tempat, yakni di Istana Maimoon, di Desa Sukanalu (Tanah Karo) dan di Deli Tua (Deli Serdang).

Pangeran yang seorang lagi yang telah berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung Jambo Aye dekat Lhokseumawe, Aceh.

Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan.

Tetapi, baru saja upacara dimula, tiba-tiba berhembus angin rebut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut. Lagenda ini sampai sekarang masih terkenal dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.

Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari Putri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Istana Maimoon, Medan hingga saat ini.

0 comments: