Sabtu, 08 November 2008

Prosesi Pernikahan Masyarakat Aceh

WASPADA ONLINE
Oleh Mhd Darwinsyah Purba

Prosesi pernikahan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan antara syariat agama (Islam) dengan adapt istiadat; Hukom ngon adat lagee zat dengan sifeut yang berarti hukum dan adat bagaikan zat (Allah) yang dan sifat-Nya. Proses nikah menurut Qanun Al-Achiy, menetapkan bahwa bagi setiap pemuda yang hendak menikah dituntut memilih gadis/calon istri menurut pilihannya. Kemudian dia sampaikan kepada keluarganya agar orang tuanya mengutus orang tua gampong untuk mendatangi rumah si gadis (dengan membawa emas pertunanangan) untuk melakukan pelamaran dengan tatacara yang santun sesuai budaya Aceh.

Orang tua/wali dan keluarga dari calon dara baro (calon isteri) mempertimbangkan untuk mengabulkan lamaran nikah dari pihak calon linto baro (calon suami). Jika tidak ada aral melintang (seperti belum menerima lamaran dari pemuda lain), mereka dapat memutuskan untuk mengabulkan atau menolak lamaran tersebut secara santun. Bila ternyata lamaran linto tidak diterima, mereka pandai dalam menenangkan hati pelamar. Bahkan dapat mencari alternatif lain yang membuat pihak pelamar tidak tersinggung. Namn jika lamaran diterima, maka pihak calon linto mengirin seunangke (utusan) untuk langkah perencanaan nikah selanjutnya, sehingga dapat dilangsungkan sampai menuju ke pesta pernikahan (walimatul ursyi).

Jika si pihak wali calon isteri, ternyata mungkir di kemudian hari dalam masa sebelum akad nikah dilangsungkan, maka pihak Isteri harus membayar dua kali harga pertunanagan. Dan bila hal itu datangnya dari pihak suami, emas tunangan yang telah diberikan tidak boleh diambil kembali. Hal ini bertujuan agar kedua pihak Tidak mudah mengingkari kesepakatan semula. Sehingga siapa yang mamatuhui perjanjian akan dimenangkan, sedang yang tidak ata ingkar akan menerima hukuman (denda) adat yang berlaku. Konsep hukum inilah yang turut membawa Aceh pada puncak kejayaannya pada masa silam (1607-1636).

Melamar
Keluarga pria yang akan melamar seorang gadis, mengutus seorang penghubung yang disebut seulangke, bila pihak keluarga wanita menerima lamaran tersebut maka pihak keluarga pria mengantarkan tanda ikatan yang disebut ranub kong baba. Tanda ikatan ini biasanya berupa barang-barang yang terbuat dari emas dan pakaian untuk si gadis. Keluarga kedua belah pihak kemudian menetapkan pula hari perkawinan dan jumlah mas kawin yang harus diberikan oleh pihak lelaki. Mas kawin ini disebut jeunameu.

Persiapan Perkawinan
Menjelang pernikahan, sang gadis dipingit selama satu bulan. Selama itu pula sang gadis dibimbing cara-cara berumah tangga, juga dianjurkan agar tekun mengaji. Dua hari sebelum pernikahan, pihak keluarga wanita mengadakan upacara mandi dengan air bunga bagi sang gadis. Hal ini dimaksudkan sebagai pembersih dosa bagi calon pengantin wanita, di samping sebagai pengharum badan. Setelah itu, pihak keluarga wanita mengadakan pula upacara koh andam, yaitu upacara membersihkan anak rambut ditengkuk, dahi dan merapikan alis mata, juga menginai kuku-kuku menjadi merah dan memerahkan bibir dengan memakan sirih.

Upacara Pernikahan
Sebelum upacara pernikahan dilangsungkan, calon pengantin perempuan atau dara baru akan memperlihatkan kemampuannya menamatkan pembacaan kitab suci Al- Quran. Kemudian, ayah kandung calon pengantin perempuan memimpin upacara pernikahan atau ijab kabul. Setelah itu, Pihak keluarga Pengantin Pria menyerahkan jeunameu atau mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain baju adat, dan emas paun. Emas paun adalah uang emas kuno seberat 100 gram. Sebelum kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan, keluarga mengadakan upacara menginjak telur yang dilakukan oleh pengantin lelaki.

Peusejeuk
Menurut Cut Fatimah, 89, kelahiran Lhosukhon-Aceh Utara yang masih memiliki garis keturunan dari Ulee Balang Aceh Utara; “Ritual puesejeuk adalah salah satu ritual pernikahan Aceh, ritual ini mirip dengan ritual tepung tawar Namun peusejuek ini berbeda dengan tepung tawar walaupun secara pelaksanaannya hampir sama. Hanya daun yg digunakan daun peusejeuk yang tumbuh di tanah Aceh”.

Beliau menambahkan, ritual ini mempercayai sampeuna-sampeuna (kekuatan-kekuatan) yang ada dalam daun-daun, tumbuhan-tumbuhan yang tahan lama, air, beras, padi, gula dan garam. Bukankah kepercayaan ini ada kaitannya dengan kepercayaan dinamisme bahwa dalam benda-benda ada kekuatan-kekuatan dan keselamatan manusia tergantung pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam benda tersebut, maka untuk selamat perlu mengadakan suatu upacara yang beguna memindahkan kekuatan/sampeuna itu kepada manusia itu sehingga ia memberi keselamatan kepada kedua mempelai-Red.

Busana Pernikahan
Pakaian upacara adat Aceh dengan tata warna dan corak-corak sulaman benang emas yang khas. Sulaman khusus pada latar hitam untuk baje meukasah (jas), sarung songket pinggang pria (ija lamgugap) dan wanita (ija pinggang). Detail kopiah mukeutop Aceh Besar dan pinggir krah boy meukasah yang dihiasi dengan corak sulaman emas. Detail hiasan-hiasan dada, pinggang dan tangan pada busana wanita (Dara baro), terdiri atas memakai celana panjang cekak musang, baju kurung sampai pinggul, dan kain sarung. Perhiasan berupa kalung yang disebut kula, pending, gelang tangan, serta gelang kaki, kaluny bahru (leher). taloesusun Ihee (dada) dan taloe keuing (pinggang). Pergelangan tangan dihias oleh yleung pucok reubany (gelang pucuk rebung).

0 comments: