Sabtu, 08 November 2008

Novel “Laskar Pelangi” Antara Budaya dan Sastra


Oleh Mhd Darwinsyah Purba

“Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta yng murni dan tulus, cinta yang mendalam menebar energi positif yang tidak hanya mengubah hidup seseorang, tetapi juga menerangi kehidupan orang banyak”. (potongan puisi yang tertera di cover novel).

Dunia perbukuan Indonesia belakangan ini dimarakkan oleh munculnya penulis-penulis baru yang berprestasi melahirkan karya-karya bestseller. Satu dari sekian penulis tersebut adalah Andrea Hirata, seorang pria asal Belitong yang mengisahkan perjalanan hidupnya dalam novel tetralogi Laskar Pelangi. novel ini merupakan karya fenomenal dari pria yang mengaku belum pernah sekalipun menulis suatu karya sastra sebelumnya. Penjualan buku ini benar-benar mengagumkan. Sejak diterbitkan pertama kali pada September 2005 sampai Oktober 2007, buku ini telah dicetak ulang sepuluh kali dan berhasil mendapat penghargaan “Indonesia most powerful book”.

Alur cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif, novel ini mampu mengobarkan semangat mereka yang selalu dirudung kesulitan dalam menjalani blantika pendidikan di mana tokoh-tokoh didalamnya adalah manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, tawakal dan takwa yang dituturkan secara indah.

Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan dan temukan arti kita tertawa, menangis dan terseduh ketika kita membaca setiap lembar bukunya. Ketika membacanya seolah menemukan Gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogal atau Alan Lighman ia seperti trance menulis “Laskar Pelangi” dengan kadar emosi demikian kental, bertabur metafora penuh pesona, deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskep dan budaya yang dikerjakan dalam kurun waktu tiga pekan.

Budaya Melayu Belitong
Ia menceritakan tentang orang-orang Melayu yang memiliki pribadi yang sederhana yang memperoleh kebijakan Melayu dari para guru mengaji dan orang-orang tua di Surau sehabis shalat maghrib. Kebijakan yang disarikan dalam hikayat para Nabi, kisah Hang Tuah dan rama-rama gurindam. Ras Melayu Belitong adalah ras tertua Malay atau Melayu dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasikan ras-ras besar kaukasia, Negroid dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay seperti yang diungkapkan oleh Buffon dengan kata lain mereka sebenarnya bukan orang Melayu. Kenapa?

Pertama, karena orang-orang Belitong tidak paham akan hal itu dan kedua, karena mereka tidak memiliki semangat primordialisme. Bagi kebanyakan pendapat bahwa orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai Malaysia adalah Melayu, atas dasar ketergilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana dan pantun yang sambut menyambut bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan atau struktur bangunan tulang belulang. Melayu Belitong adalah ras egalitarian.

Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitu pula Melayu Belitong. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang sawang tidak menyadari bahwa mereka seperti orang Aborigin. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam. Bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton dan bermbut kasat lurus seperti sikat.

Melayu Belitong seperti terisolasi karena mereka tinggal di sebuah pulau kecil dikelilingi Samudra sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabur pemisah kehidup jahiliyah dan dunia moderen dan sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk mengolok-olok dunia luar.

Pintu baja tulun itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini disebut Kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu Belitong merasa bahwa di dunia ini tuhan yang menciptakan mereka dan bumi berbentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong oleh karena itu Kluis sangat penting dan kuncen (penjaga pintu) bukan orang sembarangan di dunia ini hanya ia dan tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama Kluis setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahapan lagi untuk membukanya: Pertama, ia harus memasukan dua kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan, Kedua, ia kembali memasukan sebuah anak kunci besr yang harus diputar dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalikan enam buah batangan baja murni sebesar lengan dewasa dari pengekatnya. Inilah tuas kunci utama Kluis. Dan yang ketiga, setelah pintu besi 30 sentimenter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.

Sastra yang jujur dan sederhana
Andrea Hirata selain unsur budaya disisipkan ke dalam novelnya, ia juga tidak lupa memasukan beberapa unsur sastra yang begitu jujur, sederhana dan penuh makna bagi pembaca, yang merupakan sebuah perasan jiwa yang sedang jatuh cinta serta rasa cintanya kepada sang pencipta.

Aku Bermimpi Melihat Surga
Sungguh malam ketika di pangkalan punai aku mimpi melihat surga
Ternyata tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan
Tidak ada bidadari seperti disebutkan di kitab-kitab suci
Aku meniti jembatan kecil
Seorang wanita berwajah jernih menyambutku
“inilah surga” katanya
Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah
Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja
Menyirami kubah-kubah istana
Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga dan biru?
Sebuah keindahan yang asing
Di istana surga dahan-dahan pohon ara menjalar kedalam kamar-kamar
Sunyi yang bertingkat-tingkat
Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam
Menebar rasa kesejukan
Bunga Petunia ditanam di dalam pot-pot kayu
Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru
Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan dibalik tilam
Indah sekali sinar memmancarkan kedamaian
Tembus membelah perdu-perdu di halaman
Sunyi begitu sepi’
Tapi aku ingin di sini
Karena ku ingat janjimu tuhan
Kalau akau datang dengan berjalan
ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari. (Bab XVI, hal: 181-182)

“Demikian berlangsung beberapa bulan, setiap Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, hanya hati ini yang bicara melalui kuku-kuku yang cantik, tidak ada perkenalan, tidak ada tatap muka, tidak ada rayuan dan tidak ada pertemuan, cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana dan cinta yang sangat malu tapi indah, indah sekali tak terperikan”. (Bab XX, hal: 252)

Bunga cinta Krisan
A ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa
Awan-awan putih yang beranak itu
Aku mengirim bunga-bunga Krisan untukmu.(Bab XX, hal: 257)

Rindu
Cinta benar-benar telah menyusahkanku
Ketika kita saling memandang saat sembayang rebut malamnya
Aku tak bisa tidur karena wajahmu tak mau pergi dari kamarku
Kepala pusing sejak itu
Siapa dirimu...?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku?
Yang membuat melamun sepanjang waktu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu.....
A Ling.....(Bab XXI, hal: 280-281)

Novel “Laskar Pelangi” yang imajinatif apabila dibaca akan dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi bangsa Indonesia yang kini sudah terinfeksi nilai-nilai budaya eropa, berbaur menjadi sebuah tradisi atau budaya baru yang memilukan. Hingga kini sebagian generasi kita telah kehilangan budayanya sendiri artinya generasi kita sekarang sebagian besar tidak berbudaya alias bertopeng dengan budaya bangsa lain sementara bangsa lain begitu mengagumi budaya Indonesia yang beranekaragam.

Sebuah novel yang memadukan semangat seorang pejuang yang sedang meniti pengetahuan demi masa depannya, dengan tidak lupa menambahkan unsur penting dalam menulis sebuah novel yaitu budaya dan sastra agar nilai estetika dan pendidikan tetap tertanam dalam sebuah karya-karya tulis karena hal ini yang akan menjadi nilai plus dalam sebuah tulisan.

Apabila anda seorang berbudaya dan mencintai sastra anda harus membaca novel “Laskar Pelangi” sebagai tolak ukur anda dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara agar generasi kita selanjut tidak terjebak dalam sebuah lembah budaya yang tidak memliki nilai apapun.

0 comments: