Sabtu, 08 November 2008

Ketika Kaum perempuan Menulis

Sunday, 18 November 2007
WASPADA Online

Oleh MHD Darwinsyah Purba, S,Sos


Kaum hawa biasa mengeluarkan isi jiwanya kepada sahabat-sahabatnya. Ada sebagian kaum feminisme ini dalam menumpahkan perasahan ke diary sebagai tempat ternyaman dalam menuangkan isi hatinya, tanpa disadari ternyata banyak manfaat yang dipetik dari aktivitas tersebut selain aman, catatan harian dapat menjadi saksi sejarah bagi kehidupan di masa yang akan datang. Tanpa mereka sadari tuliasan-tulisan yang di gali dari perasaan tersebut dapat menjadi sebuah cerpen bahkan novel ataupun sebuah sejarah pribadi sampai dengan sejarah bangsa yang kelak di butuhkan bagi anak cucu kita.

Seperti R.A kartini lebih terkenal memperjuangkan kaum perempuan dibandingkan dengan Dewi Sartika, Laksamana Kemala Hayati, Cut Nyak Dien dan Cristina Martha Tiahahu? Alasannya sederhana saja: Kartini terbiasa menulis diary. Terlepas aspek politisnya, Kartini memiliki bukti-bukti otentik dalam bentuk teks-teks surat yang beliau kirim lewat surat kepada temannya di luar negeri seperti ke Nyonya JH. Abendanon. Surat-surat ini kemudian dibukukan dan dapat dibaca oleh generasi ke generasi selanjutnya. Gagasan Kartini, lewat apa yang ditulisnya menjadi inspirasi banyak perempuan, mungkin kalau Kartini masih hidup, beliau tidak akan percaya coretan tangan yang jujur tersebut menjadi karangan ilmiah yang berpengaruh sekali bagi bangsa dan kaum perempuan di Indonesia.

Sang penulis klasikal, Alm. Bunda Hj. Ani Idrus yang banyak menyumbangkan karya-karyanya lewat pena dari kelembutan jemarinya yang melahirkan buku-buku yang berjudul; "Wanita Dulu, Sekarang dan Esok" (1984), "Menunaikan Ibadah Haji" (1953), "Terbunuhnya Indira Ghandi" (1984), "Sekilas Pers dan Organisasi PWI di Sumatera Utara" (1985) dan "Doa Utama dalam Islam" (1987). Yang memberi sumbangan bagi kaum perempuan yang idealisme. Dalam bukunya "Wanita Dulu, Sekarang dan Esok" mengatakan bahwa sejarah kesatuan pergerakan tanah air dan bangsa pergerakan perempuan Indonesia itu timbulnya justru pada waktu "Sumpah Pemuda" (28 Oktober 1928) hingga sekarang. Begitulah isi salah satu buku beliau yang imajinatif dan penuh semangat pejuang yang tinggi untuk menjadi seorang perempuan Indonesia. Dalam bukunya itu beliau juga menyebutkan mengenai "Panca Dharma Wanita" yang memaparkan bagaimana untuk menjadi seorang wanita, yaitu:
1.Wanita sebagai istri,
2. Wanita sebagai ibu rumah tangga
3. Wanita sebagai penerus/keturunan
4. Wanita sebagai ibu pendidik anak-anaknya
5. Wanita sebagai warga masyarakat.

Kini, penulis muda dari kaum hawa ini laksana jamur di musim hujan ikut berkreasi dan menyemarakkan tumpukan-tumpukan etalase toko-toko buku. Satu sisi hal ini sangat menggembirakan. Lonjakan karya-karya berupa buku dari penulis perempuan mencitrakan peningkatan melek huruf dan intelektualisasi. Sisi lain ada dari penulis-penulis perempuan itu membawa misi-misi tersendiri. Mereka menulis sebagai simbol pemberontakan tehadap ketidakadilan yang melingkupi dunia perempuan dalam perspektif kesetaraan peran dalam kehidupan.

Selain, banyak bentuk dan ragamnya namun mudah dikonsumsi publik, akhir-akhir ini dunia sastra mendapat respon baik dari khalayak. Karya-karya mereka berusaha menyaingi karya kaum laki-laki yang begitu berani tampil dengan mengeksplorasi vulgar dan seksualitas. Seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Fira Basuki dll. Buku Supernova karya Dewi Lestari. Buku ini mengisahkan Diva, pelacur kelas kakap yang berkarakter mandiri, berwawasan luas, kritis, cerdas dan mempunyai pilihan hidup, tentu saja di dalamnya dibumbui "adegan bapak ibu," perselingkuhan dan sebagainya, hal ini menepis ketidakberdayaan tokoh perempuan yang banyak digambarkan sastra lama. Seakan-akan menunjukkan hargai pilihan hidup orang dan pekerjaan seorang pelacur adalah perkerjaan yang sangat terhormat.

Tak hanya sastra, tulisan pop (populer) misalnya komik, Teenlit dan Chicklit juga membanjiri dunia buku. Gaya tulisan ringan dan enak membuat bacaan ini digandrungi remaja. Pasalnya, isi buku pop itu tadak jauh-jauh dari propaganda kehidupan "gaul" bebas nilai. Buku-buku seperti ini sebenarnya cukup membahayakan stabilitas psikologis dan jati diri generasi muda.

Misalnya, novel-novel Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja dan lainnya. Konon tulisan-tulisan mereka banyak mengantarkan perempuan kepada hakekatnya kehidupan seorang perempuan. Penulis sekaligus pejuang Zainab Al-Ghazali juga rajin menggoreskan perjalanan hidupnya selama enam tahun di penjara lewat tinta semasa Pemerintahan Mesir Gamal Abdul Naser. Kisah dukanya yang menggugah hati siapapun yang membacanya. Kisah lara ini bisa dijumpai dalam bukunya yang berjudul: "Peran dan Tugas Wanita Muslimah atau Hari-hari dalam hidupku."

Zainab al-Ghazali adalah wanita luar biasa. Seperti Aisha Abd al-Rahman, tokoh asal Mesir ini begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan berdasarkan keyakinannya, sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Oleh karenanya, sejarah mencatat Zainab lebih dikenal sebagai aktivis Islam ketimbang cendekiawan Islam. Dia lahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada 1917 dan merupakan keturunan dari kalifah kedua Islam, Umar bin Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Ketika masih berusia sangat muda, 10 tahun, Zainab Al-Ghazali telah memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di depan umum. Dan sepanjang hidupnya, dia lantas membentuk dirinya sebagai orang yang berhasil belajar secara otodidak. Ambisinya yang kuat dan tekadnya yang membara, membuatnya maju untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi, pada saat kaum wanita pada saat itu jarang yang mengenyam pendidikan karena dianggap tabu.

Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh pendiri Ihkwanul Muslimin, Syekh Hasan al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Al-Ghazali adalah orang yang lantang mempertahankan syariah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Dia mengalami hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu. Penjara dan siksaan, tidak pernah mematahkan tekadnya bahkan membuatnya lebih kuat. Zainab Al-Ghazali meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis perempuan yang tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalisme dan menggantikannya dengan nilai-nilai Islam.

Seorang penulis kelahiran tahun 1940 di Fez, Marokko perempuan yang terkenal, Dosen tetap dan guru besar Sosiologi di Universitas Mohammed V Rabat-Marokko dan Gelar Ph.D didapatkan di Universitas Brandels, Amerika Serikat tahun 1973, Fatima Mernissi, yang telah sekian lama merebut perhatian para aktivis perempuan dan peminat gender melalui buku-bukunya seperti Beyond the Veil: Male-Female Dynamic in Modern Moslem Society- yang aslinya adalah disertasi doktornya. Dari tulisan-tulisannya, sedikit atau banyak kita dapat menarik benang merah untaian pemikiran Mernisi sekitar feminisme: Yakni betapa gigihnya dia menelisik kekurangan-kekurangan yang ada pada pemerintahan Arab -yang menurutnya- bukanlah intrinsik karena doktrin agama. Namun, lebih karena agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Mernissi rela "mewakafkan" sebagian besar usianya untuk melakukan penggalian arkeologis dengan membuka-buka teks agama dan mengakrabi ruang-ruang perpustakaan. Dengan maksud, tentu saja, untuk membuktikan hipotesis dia tentang intervensi budaya patriarkhat dalam teks-teks sakral yang bersifat misoginis.

Misalnya kita lihat dalam karyanya "The Veil and Male Elite," (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam Politik," (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi menjadi "Women and Islam: "A Historical and Theological Enquiry," (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: "Wanita dalam Islam," Bandung: Pustaka, 1994) dan seabrek buku lainnya. Ia pernah mengatakan, dengan menulis setiap hari kulit kita akan bercahaya dan kencang! Karena bisa jadi segala yang terpendam dalam benaknya terlampiaskan lewat tulisan sehingga bisa menjadi kita lebih fresh dan bergairah dalam hidup.

Bukan kelahiran, kehidupan, kematian dan kecantikan yang membuat kaum hawa dimuliakan serta dicintai oleh kaumnya namun akhlak yang baik, keringat, air mata, kesabaran, kelembutan hati yang diperjuangankan dengan konsisten yang dapat memuliakan kaum hawa. Oleh sebab itu mulailah dari hal-hal yang kecil karena suatu saat akan menjadi sesuatu hal yang besar, jangan ragu-ragu untuk menulis apapun itu sejak dini. Ingat pesan penulis yang ternama Harry Potter J.K Rowling, "Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kuketahui tulislah tentang pengalaman dan perasaanku sendiri."

0 comments: