Minggu, 09 Agustus 2009

Perda Menara Bersama Harus Dikaji Ulang

MEDAN pro kontra menara bersama antara kepentingan pemerintah daerah dan coverage operator selular menyimpulkan peraturan daerah (perda) Menara Bersama yang saat ini sudah ada di Depdagri harus dikaji ulang atau dilakukan judicial review.

Praktisi Fakultas Hukum USU, Prof. Ningrum Sirait. ”Mana yang lebih baik apakah Perda ini kita jalankan tapi kita ribut, atau kita kaji lagi kemudian mencari solusi dan pendapat untuk mencari titik temu,” jelasnya. Berbagai alasan yang memungkinkan Perda Menara Bersama itu untuk dikaji ulang memang mengemuka.


Asosisiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menilai posisi industri telekomunikasi di Indonesia merupakan andalan pemerintah untuk menjaga wilayah nusantara. Hal ini tidak hanya ditunjang oleh faktor perkembangan usaha tercepat melainkan jadi benchmark bagi industri lainnya khususnya pada efisiensi dan efektifitas kerja, juga sisi finansial terutama keterbukaan terhadap informasi.

Ketua ATSI, Agus Simorangkir menyatakan pada acara Seminar Pro Kontra Menara Bersama Antara Kepentingan Pemerintah Daerah dan Coverage Operator selular menyatakan selama ini pengusaha sangat kesulitan membangun infrastruktur telekomunikasi dan terhambat pada regulasi pemda yang ada.

"Saat ini banyak perda yang menghambat penetrasi telekomunikasi seperti perizinan usaha, perizinan frekuensi, dan lainnya," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah perlu menekankan pada perluasan infrastruktur dasar, infrastruktur pendukung, dan jasa layanan melalui pola regulasi yang terpusat. Bahkan, tumpang-tindih peraturan antara pusat dan daerah menyebabkan operator sulit dalam membangun base transceiver station dan jaringan serat optik, termasuk Palapa Ring.

Simorangkir mendesak pemerintah untuk memperbanyak penerapan kandungan lokal di industri telekomunikasi agar manufaktur lokal dapat ikut merasakan pesatnya perkembangan sektor tersebut.

Namun, lanjutnya, dengan diterapkan peraturan Menara Bersama ini, pemerintah dan pengusaha mencari harus mencari titik temu bukan sebaliknya agar yang didapatkan adalah win-win solution.

”Kalau kita melihat dari kacamata operator seluler ada empat bagian yaitu peraturan pemerintah yang mengatur, kemudian menara operator seluler, menara bersama, dan selulernya,” ujarnya.

Konsep yang dilakukan pemerintah, lanjutnya, adalah baik, namun permasalahannya adalah dampak dari ketika peraturan tersebut diterapkan mempengaruhi pelayanan dari masing-masing operator seluler.

”Karena pelayanan operator seluler dipengaruhi oleh menaranya, yang memungkinkan terdapat tiga sampai dengan lima antena per operator seluler dengan frekuensi yang berbeda-beda. Jika hal ini digabungkan dengan operator seluler, pastinya akan terganggu frekuensi yang menyebabkan tidak sampainya pelayanan yang akan diberikan operator seluler

Kondisi ini, menurutnya, sangat membahayakan bagi operator seluler khususnya tidak hanya pebisnis pemula yang memungkinkan kerugian yang cukup besar melainkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Hal itu juga diungkapkan Praktisi Hukum Telekomunikasi, Prof. Ningrum N Sirait bahwa peran pemerintah sebagai regulator tentu sangat menentukan dalam kebijakannya. Jika sampai salah maka pebisnis akan semakin mundur dan pendapatan daerah dan negara semakin menurun.

”Pasar seluler sejak awal memang sudah ketat persaingannya meski hanya ada dua pemain lama operator seluler, namun mereka telah menikmati keuntungan yang cukup besar. Dengan munculnya pebisnis lainnya, persaingan akan semakin ketat dalam berbagai kreteria produk yang ditawarkan,” ujarnya.

Tentunya, lanjutnya, tidak hanya perang harga dan promosi yang diharapkan menjadi consumer welfare namun pendapatan negara juga semakin meningkat yang diharapkan menggerakkan roda ekonomi dan berbagai dampak positif lainnya dari peningkatan kinerja komunikasi.

”Dengan peraturan Menara Bersama yang telah diputuskan oleh pemerintah melalui Peraturan Mentri (Permen) No. 2/2008 yang menjadi pro-kontra terhadap pebisnis. Karena keputusan itu menitikberatkan pemberdayaan industri dalam negeri dengan membatasi modal asing dalam industri menara besama, hal ini sangat berbahaya terhadap dunia investasi,” lanjutnya.

Padahal, lanjutnya, pembangunan menara baik dari pebisnis dalam negeri maupun luar negeri telah berdiri di seluruh pelosok Indonesia. ”Apakah hal ini akan dimusnahkan?” ujarnya kembali.

Dalam dunia investasi dan bisnis, lanjutnya, faktor penegakan hukum menjadi menentukan terhadap animo investor, kegairahan dunia usaha dan kepastian investasi. ”Jika hal ini terjadi tanpa ada solusi dari kedua belah pihak, maka keduanya akan merasakan dampak kerugian itu sendiri,” ujarnya.
Pandangan praktisi hukum, lanjutnya, untuk industri seluler, hal ini sangat terasa apalagi sebelumnya ada keputusan KPPU dalam perkara Temasek melahirkan gugutan kelompok konsumen (class action).

”Selain itu peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, saat ini cukup banyak Perda yang dikeluarkan justru menjadi ”artificial barrier” bagi new entry maupun incumbent yang ada,” lanjutnya.

Ningrum melanjutkan Pemda sering mengeluarkan regulasi dengan tidak melakukan Regulatory Impact Assessment (RiA) yaitu analisis mendalam terhadap dampak ekonomi, sosial, atau usaha daru suatu regulasi dan jarang melakukan konsultasi dengan para stakeholder yang terkait.

”Inilah yang menyebabkan kekhawatiran terhadap pebisnis tidak hanya di operator seluler melainkan pengusaha-pengusaha lainnya,” ujarnya.

Kepala Dinas Perhubungan Sumut, Nasruddin Dalimunthe pada acara Seminar Pro Kontra Menara Bersama Antara Kepentingan Pemda dan Converge Operator Seluler di Garuda Plaza Hotel, Kamis (6/7) membenarkan hal tersebut.

Dia mengakui, dari sepuluh operator seluler yang telah membangun menara bersama hanya 1003 menara yang telah mendapatkan izin membangun. Padahal, data yang terhimpun sudah mencapai 3000 menara.

”Kondisi ini menunjukkan, tidak efektif dan tertatanya pembangunan menara sehingga banyak komplain mengenai menara yang tidak efisen dan letaknya menggangu keindahan alam,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pembangunan menara dengan jarak yang berdekatan itulah yang dianggap proyek mubajir. Dengan adanya Permen ini diharapkan bisa mengurangi dampak negatif dari pembangunan menara telekomunikasi serta mencegah adanya proyek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.


Kadis Kominfo Provsu, Edy Sofyan, diwakili Kabid Hubungan Antar Lembaga Dinas Informasi dan komunikasi Sumatera Utara Deni Simamora menyatakan bahwa proses pembuatan Perda telah dilakukan sesuai dengan prosedur. Hal ini ditandai dalam beberapa tahun terakhir sejak Gubernur Rudolf Pardede, Sumut mulai menjalankan konsep BTS terpadu sebagai upaya mengantisipasi tumbuhnya menara BTS sehingga mengganggu estetika kota.

0 comments: