Minggu, 09 Agustus 2009

Parmalim, Penganut Kepercayaan Ber-Tuhan Suku Batak

MEDANtoday Menurut sejarahnya, Parmalim adalah ajaran yang dititipkan oleh Singamangaraja kepada beberapa golongan suku batak. Alhasil, hingga kini Parmalim terdiri dari beberapa sekte yang memiliki perbedaan satu sama lainnya. Salah satu golongan penganut Parmalin ada di Desa Huta Tinggi, Kec. Laguboti, Kab. Toba Samosir.


Daerah Huta Tinggi dapat dicapai sekitar satu jam perjalanan dari kota Parapat. Di daerah itu tengah diadakan upaca besar, bersyukur dan berdoa kepada penguasa alam semesta. Menurut kepercayaan mereka, ada yang berkuasa selain manusia berupa sosok ghaib Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam acara Ulaon Pemeleon Bolon Sipaha Lima.


Penganut Parmalim di Huta Tinggi secara keseluruhan berkisar 10.000 jiwa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Selain di Laguboti, Toba Samosir, ada juga di Parapat, Simalungun, Karo, Kisaran, Barus, Tapanuli bahkan di kota Medan.


Penganut kepercayaan yang mempercayai adanya keberadaan tuhan ini, bila diperhatikan memang berbeda dari orang-orang Batak lainnya. Mereka tidak mengkonsumsi Babi, darah, bangkai dan hewan melata. Mereka juga tidak menikah dengan masyarakat yang bukan penganut Parmalim.


Terkesan, penganut Parmalim di Huta Tinggi ini lebih bersih, dan dari sikap mereka jauh lebih sopan, ramah dan berbudi. Cara mereka bertutur sapa pun terkesan lemah lembut, sangat berbeda dengan masyarakat suku Batak umumnya.


Silsilah keturunan mereka saat Sisingamangaraja menitipkan ajaran ini kepada salah seorang kepercayaannya dijuluki Raja Mulia Nae Pos-Pos, yang kemudian Sisingamangaraja meninggal setelah ditembak Belanda yang saat itu menduduki sebagian wilayah nusantara pada 1921.


Setelah Raja Mulia Nae Pos-Pos wafat, diteruskan pula oleh anaknya Raja U. Nae Pos-Pos. Kini, generasi ketiga pemimpin tertinggi Permalim dipegang oleh Raja Marnangkkok Nae Pos-Pos. Sebagaimana yang dituturkan cucu dari anak perempuan Raja U. Nae Pos-Pos, Togi Marudut Sirait kepada Bisnis Indonesia .


Togi juga menceritakan sekilas tentang keberadaan Parmalim di Huta Tinggi yang memang berbeda dengan Parmalim yang ada di daerah lain seperti di Silmalungun, dan Barus. "Parmalim Abonaron Bona di Karo berbeda dengan kita di Huta Tinggi ini. Begitu juga dengan Parmalim Tanah Datar di Simalungun yang berpusat di Kisaran," ujarnya.


"Ada juga parmalim Tali-tali Nabirong di Siantar yang umumnya memakai sorban hitam di kepala. Sedang kami di sini memakai sorban putih. Adalagi Parmalim Masa Kondar Manurung di Barus yang dalam setiap upacaranya ada yang menggunakan beduk, sedangkan kami tidak memakainya," kata Togi lagi.


Parmalim yang ada di Parapat disebut Si Raja Batak, penganut inilah yang ada di Huta Tinggi hingga kini. Dalam kesehariannya mereka melakukan peribadatan setiap hari Sabtu, sekali dalam seminggu.


Berharap Ada Pengertian Pemerintah

Menurut penuturan tokoh masyarakat yang tak lain adalah pimpinan tertinggi penganut Parmalim di Huta Tinggi, Laguboti, Kab. Toba Samosir, Raja Marnangkkok Nae Pos-Pos yang merupakan generasi ketiga kepada Bisnis Indonesia, keberadaan mereka seolah termarjinalkan. Padahal mereka manusia yang berbudi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai ketuhanan.


Parmalim di Huta Tinggi menganut tiga ajaran inti yakni; memuji Tuhan Yang Maha Kuasa, menghormati raja pemimpin terdahulu dan menyayangi sesama umat manusia. Pemerintah setempat tidak sekalipun bersedia datang pada setiap acara yang mereka laksanakan.


"Parmalim adalah penyembah Tuhan Yang Maha Esa, mula jadi nabolon, pencipta alam semesta. Kita selama setahun diberi kesempatan untuk mengkaji diri, diberi kehidupan yang layak, diberi padi yang melimpah, ternak yang membiak dan dagang yang berhasil. Itu yang diajarkan kepada kita, makanya kita beri persembahan dan ucap syukur pada tuhan," kata Raja Marnangkkok Nae Pos-Pos yang merupakan pimpinan tertinggi Parmalim di Huta Tinggi saat ini.


"Sejauh ini masyarakat sekitar tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Parmalim, ini memang daerah keberadaan kita," ujar sang Ihutan, sebutan bagi pimpinan Parmalim itu.


Ihutan Parmalim itu mengisahkan, pada 1910 saat ajaran ini disebut sebagai ajaran Malim yang bermakna kesucian dan oleh pemerintah Belanda yang saat itu menduduki beberapa daerah di nusantara pada 1921 mengakui keberadaan aliran kepercayaan Parmalim ini. Namun, sang Ihutan menyayangkan mengapa pemerintah saat ini seolah tidak perduli dengan keberadaan mereka.


"Kita berharap, eksistensi kita kiranya diakui pemerintah sebagai umat yang bertuhan, saya tidak pernah mengatakan umat yang beragama. Karena pemerintah hanya mengakui agama yang enam itu, termasuk Kong Hu Chu. Kalau pemerintah tidak mengakui kita, terserahlah. Itu tidak menjadi urusan kita lagi, namun yang terpenting kita akan tetap beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, melaksanakan segala ajarannya yang diberitakan oleh Sisingamangaraja, itulah pedoman hidup kita. Apapun yang terjadi, terjadilah, ditutup pun Parmalim ini saya sudah siap menghadapi," ungkap Raja Manangkkok lagi.


Ihutan itu menegaskan, ajaran Malim ini pada mulanya memang betul-betul ditegakkan. Senantiasa memberi nasehat yang baik, bahkan dia mengatakan tidak ada umat Parmalim di penjara karena perilaku yang buruk. "Kita bukan penjahat di negara ini, coba lihat, tidak ada orang Parmalim di dalam penjara. Ajaran yang di lakoni betul-betul dilakukan. Jangan mencuri dan berdusta.Tuhan yang Maha Esa, sang Pencipta yang mengatur hidup kita," demikian kata Ihutan Parmalim itu.


Menurut Ihutan, pemimpin Parmalim itu, ada 5 hal yang harus dilaksanakan (marhamalimon) dalam ajaran malim ini, yaitu; dalam kehidupan harus bersih, dalam perkataan harus diatur sopan santun, menjaga kehormatan, menjaga tingkah laku dan menempatkan posisi dalam masyarakat. Itulah yang mereka pedomani dalam acara tahunan, Ulaon Pemeleon Bolon Sipaha Lima, kali ini.

0 comments: